Pada tanggal 28-31 Oktober 2013 yang lalu,
saya berkesempatan menjadi salah satu peserta Kongres Bahasa Indonesia X yang
ditaja Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan di Hotel Grand Said Jaya, Jakarta. Kongres yang terdiri atas Sembilan
siding pleno panel, dan 104 makalah siding kelompok panel dengan delapan
subtema itu menghasilkan 33 butir Rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia X bagi
pemerintah.
 |
Oleh:
Niduparas Erlang |
Tema
besar “Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional” dalam kongres itu
sendiri dijabarkan ke dalam delapan subtema yang masing-masing dibahas dalam siding
keompok panel. Kedelapan subtema itu adalah (1) Bahasa Indonesia sebagai
penghela ilmu pengetahuan dan wahana iptek; (2) Bahasa Indonesia sebagai jati
diri dan media pendidikan karakter bagsa dalam memperkukuh NKRI; (3) Diploma
kebahasan sebagai upaya penguatan jati diri dan pemartabatan bangsa; (4)
Industri kreatif berbasis Bahasa dan sastra dalam meningkatkan daya saing
bangsa; (5) Bahasa daerah dan Bahasa asing sebagai pendukung Bahasa Indonesia;
(6) Membawa sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia; (7) Optimalisasi peran
edia massa dalam pemartabatan Bahasa dan sastra Indonesia; dan (8) Perkembangan
Bahasa dan studi Indonesia di luar negeri.
Namun,
tema besar yang diusung dalam kongres itu saya piker begitu ambisius. Betapa
tidak, sebab Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang kita hadapi,
artinya penggunaan Bahasa Indonesia di dalam negeri ini sendiri, masih
menampakkan gejala kesimpangsiuran atau kekarutmarutan dalam penggunaannya.
Apalagi, masyarakat kita yang semestinya menghidupi Bahasa Indonesia, tampaknya
tidak begitu bangga menggunakan Bahasa Indonesia karena sebagian cenderung
berbangga diri ketika bertutur dalam Bahasa asing. Hal demikian dapat kita
temui dengan mudah.
Dan
coba kita merenung sejenak tentang butir-butir Pancasila, misalnya, dan
mengujinya dengan menggunakan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Butir pertama, Ketuhanan
yag Maha Esa. Coba perhatikan baik-baik: dalam KBBI edisi empat, Ketuhanan adalah sifat keadaan Tuhan;
atau segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Jadi, jika kita menggunakan
pengertian harfiah menurut KBBI ini, yang
Maha Esa itu ternyata bukan “Tuhan” melainkan sifat kedaan Tuhan atau
segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan, yaitu “Ketuhanan”. Padahal kita
tahu belaka bahwa sifat apalagi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan
itu tidak mungkin tunggal, tidak mungkin esa. Begitupun pada butir ke-4, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan. Kata “kerakyatan” dalam
KBBI adalah segala sesuatu yang mengenai
rakyat; demokrasi; atau kewarganegaraan. Kalau kita menggunakan pengertian
ini, maka yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan…. bukanlah rakyat sebab rakyat adalah segenap penduduk suatu negara (sebagai imbangan pemerintah); orang
kebanyakan; orang biasa; atau pasukan (bala tentara). Tampaknya para
penggagas Pancasila, para bapak bangsa kita, begitu terpesona dengan imbuhan ke-an sehingga yang seharusnya adalah
kata “Tuhan” dan “Rakyat” malah menjadi “Ketuhanan” dan “Kerakyatan”? Atau
barangkali , para sarjana kitalah yang telah “mengacaukan” pengertiannya
sehingga KBBI memberikan penjelasan seperti itu? Saya kurang tahu pasti. Maka,
saya piker, kita tidak dapat menerapkan penggunaan KBBI dalam menguji
kebahasaan butir-butir Pancasila, sebab jika itu terpaksa dilakukan pastilah
kita dihadang masalah yang tak tertangguhkan, atau mendapat cercaan dari
berbagai kalangan penyokong NKRI – padahal kita sendiri adalah bagian di
dalamnya.
Ah,
tema besar untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam pergaulan
internasional ini sebenarnya berangkat dari klaim bahwa Bahasa Indonesia
memiliki penutur terbesar keempat di dunia, di pelajari di 45 negara dengan 174
lembaga penyelenggara Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di benua Asia,
Australia, Eropa, Amerika, dan Afrika, dan merupakan bahasa asing kedua setelah
Bahasa Inggris, serta menjadi bahasa populer keempat di Australia, juga dalam
kurikulum 2013 yang belakangan mulai diberlakukan di beberapa sekolah telah
mendudukan bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan.
Pertanyaannya,
apakah dengan memiliki jumlah penutur yang cukup banyak itu Bahasa Indonesia
akan mampu menjadi bahasa yang menginternasional? Saya pikir, belum tentu bisa
seperti itu. Sebab perihal bahasa tidak serta merta ditentukan oleh banyaknya
(secara kuantitas) jumlah penutur Bahasa tersebut, namun juga oleh banyak hal
yang bertalian dengannya. Faktor eksternal malah lebih sering menentukan.
Sekalipun Bahasa Indonesia telah dipelajari lebih dari 45 negara, kiranya tidak
sedikit warga Negara di sebuah Negara yang mempelajari Bahasa asing itu justru
dengan motif di luar Bahasa itu sendiri, tapi terkait-hubung dengan faktor
ekonomi, social, politik, dan sebagainya. Sebagai contoh misalnya, sebuah
lowongan menjadi dosen Bahasa Indonesia di sebuah sekolah untuk para taruna
angkatan bersenjata, tepatnya di Universitas New South Wales di Akademi
Pertahanan Australia, di Canberra, bukan semata untuk mempelajari bahasa dan sastra Indonesia. Melainkan, menurut
Nabbs-Keller, salah seorang ahli masalah Indonesia, keahlian warga Australia
mengenai Indonesia sangat penting berkenaan dengan tindak terorisme dan bencana
alam.
“Ketika
terjadi bom Bali 2002, dan juga berbagai penggerebekan terhadap anggota
masyarakat Indonesia di Perth, Sydney, dan Merlbourne, Dinas Keamanan Australia
harus mengandalkan pihak luar untuk menganalisa data intelejen yang disita.
Tidak ada satupun dinas di bagian dinas keamanan Australia yang memiliki ahli
Indonesia untuk membantu,” kata Nabbs-Keller.
Nah,
di Australia, ternyata motif mempelajari Bahasa Indonesia bukan lantaran
kebudayaan, sastra, ekonomi, dan lain-lain yang membanggakan Indonesia sebagai
sebuah negara kesatuan. Tapi lebih kepada kekacauan; terorisme.
Pada negara-negara lain, saya
kira, kasusnya tak akan jauh berbeda. Tapi, sekalipun begitu, masih bolehlah
kita berharap, kelak, di masa yang mungkin datang, Bahasa Indonesia benar-benar
menginternasional setelah seluruh warga Indonesia memiliki “kebanggaan” ketika
bertutur atau menulis atau mencipta dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
Semoga. ***