Oleh: Nur Seha*
“Mba, mantap! Aku seperti berada pada
era ‘70-an, nggak nyangka pertunjukan kayak gitu masih ada. Aku jadi inget
film-film Benyamin dulu. Pokoknya exciting, belum lagi totalitas Mang Cantel
memerankan lakonnya,” komentar salah seorang teman setelah menyaksikan
pementasan ubrug dalam resepsi pernikahan di Kampung Prisen, Kecamatan
Walantaka, Kota Serang, Banten.
Menilik dari kata ‘ubrug’ yang
dipakai untuk pementasan tersebut, mungkin tidak semua sobat muda mengenalnya. Merujuk
pada Kamus Basa Sunda, kata ubrug berarti ‘bangunan darurat tempat bekerja sementara
untuk beberapa lama’, misalnya pada waktu ada hajatan atau pesta, sedangkan menurut
Marim, salah seorang penggiat ubrug di Serang, ubrug berarti spontanitas atau brug
seperti sebuah bunyi yang artinya langsung. Oleh karena itu, dapat diartikan
pula sebuah pertunjukan teater tradisional Banten yang diadakan untuk hiburan
pada acara hajatan atau pesta dengan pola struktur tertentu.
Penampilan ubrug masa kini pun telah
berubah format atau polanya sesuai dengan perkembangan zaman dan permintaan
pasar. Waktu dan lamanya durasi pementasan membuat sebagian generasi muda tidak
mengikuti tontonan ini hingga akhir. Seperti yang terekam dalam pertunjukkan
Mang Cantel di Kampung Prisen, acara berlangsung kurang lebih 6 (enam) jam
mulai pukul 21.30 hingga 02.30 WIB.
Acara dibuka dengan tetabuhan atau
lebih dikenal dengan tatalu untuk memanggil para penonton, yang dilanjutkan
dengan tari jaipong yang diringi musik dan lagu yang dinyanyikan oleh 2 (dua)
orang sinden. Para penari yang terdiri atas 8 (delapan) orang, secara
bergantian menari menghibur penonton. Mereka kadang tampil sendirian, berdua,
berempat, atau berdelapan. Jika sendirian, sang primadonalah yang tampil dengan
gaya khasnya atau bahkan memainkan sedikit gerakan pencak silat ala jawara.
Sesi jaipongan ini banyak dihadiri penonton baik dari kalangan tua, muda, maupun
anak-anak.
Keriuhan dan semarak acara terus
berlanjut hingga sesi lawakan atau bodoran yang menampilkan lakon Mang Cantel.
Busana Mang Cantel yang khas: celana panjang warna hitam, baju lengan panjang
berwarna merah dilengkapi rompi pendek warna hitam dan syal panjang warna merah
yang dililitkan ke leher, sarung kotak-kotak yang dikenakan hingga lutut, tak
lupa blangkon coklat bermotif batik, serta tata rias wajah yang membuatnya
terlihat lucu, menguatkan karakter lakon Mang Cantel malam itu. Para penonton menyaksikan
penampilan Mang Cantel yang sangat mengocok perut. Terlebih saat Mang Cantel
dan dalang Sarmani saling bersahutan melontarkan lawakan pada sesi bodoran.
Bahkan penonton yang tidak mengerti bahasa Jawa Serang sekalipun
terpingkal-pingkal hanya dengan membaca gesture (bahasa tubuh) Mang Cantel.
Suasana yang sangat menghibur tersebut mampu menyedot perhatian penonton hingga
mereka terus bertahan sampai pukul 01.00 WIB dini hari.
Sesi bodoran terus berlanjut ke lakon
cerita yang dimainkan oleh Mang Cantel sebagai tokoh utama dibantu oleh
beberapa penari dan pemain lainnya. Cerita yang dimainkan malam itu bertema
tentang perselingkuhan. Entah karena sudah larut malam atau kurang menarik,
penonton mulai meninggalkan acara satu per satu. Sesi yang dikenal dengan
lalakon ini dihadiri oleh sedikit penonton. Berbeda dengan sesi jaipongan dan bodoran
yang memiliki magnet bagi penonton, lalakon yang berlangsung kurang lebih satu
jam setengah seolah hanya sebagai pelengkap. Di antara beberapa dialog yang
terjadi antar tokoh, terselip dua ”iklan” pemerintah, yaitu bahaya narkoba dan keluarga
berencana.
Ubrug sebagai salah satu teater tradisional
Banten yang masih hidup memiliki potensi berkembang dan bertahan di tengah
masyarakat digital saat ini. Hal tersebut didukung pemakaian bahasa daerah
(lokal) yang digunakan oleh para pemain baik saat bodoran maupun lalakon. Pemakaian
bahasa daerah (bahasa Jawa dialek Serang) menguatkan karakter ubrug sebagai
salah satu identitas masyarakat Serang yang terbuka, egaliter, ceplas ceplos,
dan santai. Pemertahanan bahasa Jawa (dialek) Serang dalam pertunjukan ubrug membawa
dampak positif bagi pelestarian dan perkembangan bahasa daerah.
Pada sesi bodoran dan lalakon, bahasa
daerah dieksploitasi dengan apik dibantu gesture para lakon yang memikat. Bahkan,
menurut pengakuan salah seorang teman, beberapa kosakata yang dipakai dalam
pementasan adalah kosakata yang hanya dipakai oleh sebagian penutur di daerah
tertentu, atau kosakata lama yang sudah jarang dituturkan.
Ubrug sebagai media hiburan rakyat,
dapat pula menjadi media pemelajaran bahasa dan sastra daerah bagi generasi
muda, serta media informasi layanan masyarakat. Sebagai media pemelajaran
bahasa dan sastra daerah, guru bahasa Indonesia dan seni dapat meluangkan waktu
bersama para siswa menonton pertunjukan ubrug, agar siswa dapat mengenal,
memahami, dan mengapresiasi budaya daerahnya sendiri.
Sobat muda, melalui kegiatan tersebut
guru, siswa, dan masyarakat dapat melihat salah satu karakter dan jati diri
daerah, hingga dapat berperan aktif melestarikan tradisi ubrug sebagai kekayaan
budaya Banten. Semoga ubrug tetap lestari dan menjadi aset budaya Banten yang
digemari oleh masyarakat Banten, khususnya generasi muda. [*]
*Penulis adalah pegawai Kantor Bahasa
Provinsi Banten