Oleh Naufil Istikhari Kr*
SEIRING laju mode
yang kian mengencang, sarung mulai tak dipandang. Kehadirannya ibarat segmen
mitologis yang mencegah sempurnanya kilau modernitas. Sarung segera terhapus
dari katalog mode dewasa ini. Ia ada tak lebih sebagai penanda tradisionalisme
masyarakat desa yang jauh dari modernisme kota.
Sarung sesungguhnya menebar pesona kekuasaan atas tubuh, atas
realitas yang berjarak dalam gulungan-gulungan kecil itu. Sosiawan Leak justru
terinspirasi dari sarung saat menampilkan monolog di Berlin, Jerman. Baginya,
sarung menggambarkan pembatas realitas samar-samar di dalam dengan realitas
terang-benderang di luar. Kala sarung terkoyak, sebentuk pembatas kekuasaan
turut meruyak.
Sejarah mencatat, sarung mula-mula merupakan pakaian orang
Yaman yang dalam istilah setempat disebut futah. Ensiklopedi Britanica (1801) menyebut
masyarakat tradisional Yaman sudah lama memakai dan mengenalkan sarung ke
beberapa kebudayaan lain.
Ahmad Y. Al-Hassan dan Donald R. Hill dalam buku Islamic
Technology: An Illustrated History (1987) menegaskan kemajuan industri tekstil masyarakat
Islam di awal abad pertengahan mampu memberikan kontribusi besar bagi kemajuan
Barat. Di masa itu, kawasan Semenanjung Arab sudah mengenal semacam standarisasi
tekstil berkualitas ekspor. Salah satunya: sarung.
Sarung masuk ke Indonesia baru sekitar abad ke-14 saat
pedagang dari Gujarat secara gradual menyebarkan agama Islam. Sejak inilah budaya
luar merasuk, dan kaum bersarung segera tebentuk. Lalu apa istimewanya kain
sederhana ‘berjudul’ sarung?
Simbol
Per(l/k)awanan
Jangan salah, sarung memiliki arti filosofis yang amat
penting. Secara antropologis, sarung—yang khusus jadi penanda identitas
keislaman di Indonesia—tidak saja dipakai semata untuk beribadah, tetapi juga
berfungsi perajut solidaritas masyarakat Islam yang oleh Gertz disebut santri.
Sarung menjelma tali penyambung satu santri dengan santri lainnya hingga
terbentuklah kaum sarungan.
Kaum sarungan tidak serta merta warisan antropologis yang
hampa. Ia lahir dari pergolakan arus mode, tradisi, budaya, dan tak lupa,
agama. Sintesis dari pergolakan itu memadat dalam bentuk perkawanan kaum
sarungan yang, pada gilirannya, turut menyumbang peran besar dalam skenario
pengusiran penjajah.
Sarung sebagai realitas antropologis dengan sendirinya
melahirkan spirit ganda: dari perkawanan berbuah perlawanan. Sarung larut dalam
eksentuasi politik: simbol perlawanan terhadap Belanda. KH. Wahab Chasbullah
misalnya, beliau secara konsisten menolak kerja sama dengan Belanda, dan dengan
tegas mewajibkan memakai sarung serta melarang mengenakan celana.
Bahkan pasca kemerdekaan, saat beliau diundang Presiden
Soekarno dalam upaca kenegaraan, beliau tetap memakai sarung meski sudah diinstruksikan
memakai sepatu dan celana. Kiai-kiai di Jawa Timur yang terlibat perang
mengusir penjajah selalu memakai sarung sebagai “jimat” perlawanan.
Bergesernya
Makna
Kini, setelah setengah abad merdeka, sarung lamat-lamat tampak
semakin terkurung. Terkurung oleh kuatnya trend mode dalam menawarkan kebaruan:
modernitas. Di kota-kota, sarung sudah “disahkan” sebagai penanda eksterior
yang berarti sempit dan formalistis. Sarung adalah pakaian ibadah-ibadah
tertentu: Idul Fitri, Idul Adha, Juma’atan, dan selebihnya, dilipat rapi di
lemari.
Dari sorot mata orang kota, sarung dipandang sebagai pakaian
kuno, tidak modern, kolot, tradisional hingga paling parah, simbol keterbelakangan.
Keberadaan sarung yang kian bermakna murung terjadi akibat hantaman bedil-bedil
modisme yang meruncing pada penuhanan tubuh oleh aksesori-aksesori mahal
bermerk luar negeri.
Dalam esai berjudul “Sarung: Menenun Islam dan Lokalitas”
yang termuat di buku Rahasia Perempuan Madura (2013) A. Dardiri Zubairi
mengatakan bahwa memakai sarung butuh keahlian tersendiri. Selain itu, sarung
bukan sekadar pakaian. Sarung melampaui fungsinya. Ia mengajarkan kearifan
berupa kesederhanaan. Filosofi ini, untung, masih bertahan di Madura.
Berbeda jauh dengan di Mesir dan Turki yang menjadikan sarung
tak lebih sebagai selimut tidur, di Madura misalnya, sarung adalah pakaian
multifungsi. Tidak saja mau ibadah, ke sawah, ke pasar, ke kota hingga ke mana
pun, memakai sarung di kalangan orang Madura sudah biasa. Di sana, sarung
melampaui historisitasnya.
Joko Pinurbo dalam sajak Di Bawah Kibaran Sarung (1999)
menggambarkan kesederhaan dalam kemegahan sebuah sarung: /Di bawah kibaran
sarung anak-anak berangkat tidur/ ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka./…//Di bawah kibaran
sarung/rumah adalah kampung/ kampung kecil di mana kau/ bisa mengintip yang
serba gaib/…//Ayo temuai aku di bawah kibaran sarung/di tempat yang jauh
terlindung/. Sarung disajakkan sebagai ornamen kerinduan kepada Yang Baka. Dari
situ lahir permenungan atas tubuh-tubuh yang “berkuasa” atas darah yang
mengalir di dalamnya. Sarung membuat orang berkuasa. Bukan takluk buta pada
bujuk rayu iklan pakaian model baru.
Akan tetapi, yang namanya pergeseran makna jauh lebih riuh
ketimbang nilai filosofi yang masih terjaga. Saya sendiri, di Jogja, sering
diolok-olok teman kost jika pakai sarung saat mau beli nasi. Bahkan mereka
tidak mau bonceng saya keluar saat pakai sarung. Tak jarang mereka bilang
“pasti orang Madura” kala melihat orang bersarung di hari-hari biasa. Menurut
mereka, sarung khusus untuk shalat. Tak lebih.
Adakalanya, sesuatu yang dulu bermakna kemajuan, simbol
peradaban, perkawanan. Kekuasaan tubuh hingga perlawanan sekarang tak lebih
sebagai olok-olok karena dianggap visualisasi keterbelakangan. Sirene kematian
sarung mulai terdengar. Padahal sarung adalah simbol identitas yang tak pernah
getas. Sarung memanjakan tubuh sekaligus memberi arti yang utuh. [*]
*Aktif di Lingkaran Metalogi, UIN Yogyakarta