TIDAK banyak grup band yang bisa berumur panjang, dan tidak banyak musisi
yang ‘berumur panjang’ untuk bermusik. Lebih banyak grup band yang kemudian
memutuskan untuk ‘selesai’ karena alasan-alasan klasik semacam perbedaan visi,
penuaan dan penurunan energi, keadaan pasar yang tidak lagi mendukung, atau
pertimbangan ekonomis untuk hanya mengerjakan beberapa hal instan di luar musik
itu sendiri.
Dari Inggris, kita mengenal The Smiths, sebuah grup band yang sempat
menempati tangga lagu Inggris bahkan sejak awal-awal kemunculannya lewat lagu The
Charming Man, There’s a Light That Never Goes Out, Barbarism Begins at Home,
dan lain-lain. Grup band ini hanya hidup dalam rentang 1982 sampai 1987. Di
Indonesia, walaupun tidak banyak yang secara eksplisit menyatakan bubar, banyak
grup band yang ditinggal, mengeluarkan, atau mengganti personelnya untuk
kemudian vakum. Sebut saja Radja, Ada Band, Cokelat, dan lain-lain.
Tetapi, The Smiths berasal dari negara dan masa yang terlalu jauh, pun
band-band Indonesia tadi masih belum cukup dekat dengan kita, penikmat musik
Banten. Ada baiknya kita membicarakan hal yang dekat dengan kita. Karena
itulah, rubrik musik ini telah dan akan terus mencoba membahas
persoalan-persoalan musik lokal dan hanya membicarakan grup band-grup band
lokal.
Iwan Be’enk, B-Circle, dan Konsistensi Bermusik
Pada tahun 1985, seorang anak muda bernama Iwan Be’enk sudah ambil bagian
dalam perkembangan musik di Kota Serang. Ia dan grup bandnya, serta delapan
grup band lain menjadi pelaku musik di kota yang bisa dibilang haus hiburan
ini. Merekalah yang kemudian mengisi panggung-panggung festival, meski kelak
festival-festival musik justru marak pada tahun 90-an.
Iwan Be’enk kemudian bermusik di kota-kota lain, seperti Tangerang dan
Jakarta. Lalu, pada tahun 2007, ketika ia mulai berpikir untuk menjadi solois
atau tidak bermusik sama sekali, ia kembali ke Kota Serang dan menemukan sebuah
komunitas yang salah satunya diisi oleh anak-anak muda yang semangat bermusik. Dekade,
itulah nama komunitas yang ia temukan, yang bermarkas di Bundaran Ciceri.
Di sana dan saat itulah, ia bertemu dengan Yudi Charix dan Tolebazz. Pertemuan
yang memantik lagi semangatnya, membuatnya berpikir tidak harus ke kota lain
lagi, atau menjadi solois. Iwan, Charix, dan Tolebazz membuat sebuah grup band
rock bernama B-Circle pada tahun pertemuan mereka. Sebentar, nama B-Circle
sendiri berasal dari ‘B’ untuk Be’enk dan Circle untuk menyebut keluarga,
sahabat, saudara, penikmat musik, atau siapa pun yang bersentuhan di dalam
lingkaran musik mereka.
Tidak ada yang menyatukan mereka, kecuali memang kesamaan satu sama lain,
dan itu yang membuat mereka merasa nyaman. Pada usia mereka sekarang, tidak ada
yang berkurang: energi maupun semangat bermusik. Banyak lagu yang mereka
ciptakan. Kalau kita harus mengaitkan dengan bagian awal tulisan ini, Iwan,
Charix, dan Tolebazz bisa dikatakan sebagai yang ‘long last’ hubungannya dengan
musik. Mereka terus konsisten dan eksis.
B-Circle untuk Musik Banten
Bagaimanapun, Iwan Be’enk, Tolebazz, dan Yudi Charix, selain bermain
untuk festival-festival musik, juga kerap menjadi juri dalam beberapa
perlombaan tingkat pelajar. Menurut mereka, potensi yang besar berada di tangan
para pelajar tersebut. Sebuah indikasi yang baik bagi perkembangan musik
Banten, ketika mereka melihat pelajar-pelajar itu bermain musik dengan baik.
Tetapi, selalu ada permasalahan yang harus diperhatikan oleh semua
kalangan, jika tidak ingin kehilangan potensi tersebut. Di antaranya, para generasi
pelanjut musik itu harus diberikan ‘arena’ bermusik yang representatif untuk
melakukan perbandingan-perbandingan. Juga diperlukan bimbingan yang intens
untuk mereka. Hal-hal tersebut, kiranya, tidak bisa tidak harus berangkat dari
kesinergian pemerintah, swasta, dan tentu saja musisi-musisi yang secara
praktis maupun teoritis lebih dulu lahir.
Ketika sudah ada kesinergian itu, generasi musik Banten selanjutnya bisa
melangkah lebih pasti, dan generasi sebelumnya tidak perlu khawatir atas
ancaman-ancaman yang ada di depan: mainstreem musik yang diciptakan industri
yang notabene jarang berpihak pada kualitas, semangat yang mudah digoyang oleh
persoalan-persoalan praktis di luar urusan musik, dan apa pun yang bisa membuat
musik-musik yang diciptakan tidak lagi lahir dari kesadaran bermusik.
Ada sebuah satire yang B-Circle sampaikan: mereka pernah bertemu dengan
seorang kawan yang usianya jauh di bawah mereka, lalu bertanya kepada kawan
itu, “Masih nge-band gak?”. Kawan itu menjawab, “Gak-lah, Om. Malu udah tua.”
Sayang sekali, jawaban itu terlontar dan, meski tidak ada data yang jelas, bisa
jadi adalah jawaban dari beberapa pegiat musik yang usianya lebih muda dari
mereka.
Begitulah, B-Circle yang saya temui di Rumah Kopi, pada Selasa, 7 Mei
2013 lalu, menjadi semacam “pohon besar” musik di Banten. Akarnya menancap jauh
ke dalam tanah, kokoh. Pemusik-pemusik lain, terutama yang masih berusia muda,
ada baiknya menjadi pohon-pohon baru semacam itu. Bermusik dengan dasar,
bereksistensi seolah tidak ada waktu untuk selesai. [*]
Na Lesmana