Harmonisasi alam yang hijau dan gemericik air yang jatuh dari tebing di Curug Cigumawang, Padarincang, Kabupaten Serang. |
SINAR surya jatuh dari langit Padarincang. Di sisi kiri, didahului hamparan sawah yang mulai digarap petani, pandangan saya berhenti di puncak Gunung Karang yang diselimuti kabut gelap. Saya masih harus menalukkan jarak tiga kilometer lagi untuk sampai ke tempat yang menjadi tujuan saya hari itu. Curug Cigumawang.
Sebelum memasuki kawasan Curug Cigumawang, setiap pengunjung
harus memarkir kendaraan mereka di tempat penitipan kendaraan. Sebab untuk
mencapai lokasi curug para pengunjung harus melewati medan yang tidak bisa
dilewati kendaraan.
Panas terik yang menerpa sepanjang perjalanan
Serang—Padarincang, seakan sirna begitu saja ketika kaki saya merasakan
dinginnya air di Daerah Aliran Sungai (DAS). Pun panorama hijau yang
membentang, irama air yang jatuh dari bendungan, serta kicauan burung liar,
seperti komposisi yang pas untuk menawar lelah.
Lima belas menit perjalanan jalan kaki, melewati jalan
menanjak di tengah-tengah perkebunan masyarakat, saya berhadapan dengan pos
penjagaan. Beberapa pemuda sepantaran saya asyik bercengkrama dalam dialek
Sunda. Seorang dari mereka menghampiri saya. Mengulurkan selembar tiket. Saya
menerima tiket yang bertuliskan “Tiket Masuk Curug Cigumawang”. Karena saya
tidak begitu lancar berbahasa Sunda, setelah melihat nominal yang tertera di
sana, saya langsung membayar harga tiket masuk seharga dua ribu lima ratus
rupiah itu.
Ternyata saya kecolongan. Beberapa meter dari gubuk yang
semula saya kira adalah posko penjagaan, ternyata hanya fiktif. Melewati satu
tanjakan lagi, saya kembali menemukan pondok yang dijaga beberapa orang dengan
tiket asli berstempel resmi dari pemerintahan Desa Padarincang.
“Yang tadi itu nggak bener, Kang. Ini tiket aslinya, yang
pake stempel,” ujar laki-laki bertelanjang dada yang saya temui sebelum kawasan
Curug Cigumawang.
Saya mengangguk. Laki-laki penjaga itu menyilakan saya duduk
dan mencicipi cemilan khas olahan istrinya, kripik kulit tangkil (melinjo).
Beberapa menit kami habiskan bercerita seputar curug yang
berada di Desa Padarincang itu. Dia menceritakan bahwa pengunjung biasanya
benyak ketika musim liburan sekolah. “Kalau lagi libur, banyak anak sekolah dan
mahasiswa ke sini, Kang. Ada yang kemping juga sampe dua hari,” tuturnya.
Saya melanjutkan perjalanan. Udara segar semakin terasa. Saya
menarik napas lebih lama. Satu liter, dua liter udara memenuhi paru-paru saya.
Lima menit dari pos penjagaan, rasa penasaran saya tertuntaskan. Air terjun
setinggi 40 meter terpampang tepat di mata saya. Di sisi kiri dan kanan
ditumbuhi tumbuhan perdu dan pohon-pohon besar yang semakin mempertajam kesan
asri di sekitar curug.
Saya sengaja mampir di warung di pinggir kolom, memesan
secangkir kopi panas. Menghirup sebatang sigaret diiringi irama gemericik air
yang jatuh di batu besar, ditingkah gelak tawa remaja yang asyik bermain air,
menyisakan irama merdu di kuping saya. Orkestra alam yang menenteramkan.
“Biasanya yang datang ke sini banyak yang dari Serang,
Cilegon, dan ada yang dari luar negeri juga, Kang,” ujar gadis dengan rambut
sebahu usai menyuguhkan kopi pesanan saya.
Saya begitu berhasrat merasakan sensasi sumber air Gunung
Buntu itu. Sentuhan pertama, dingin langsung menjalar di kerongkongan saya.
Segar. Saya mencuci muka, mendekatkan diri dan membiarkan kelapa saya dijatuhi
air terjun. Segala kepenatan dan stres yang diberikan kehidupan kota, seakan
luntur dan larut bersama beningnya air yang mengaliri tubuh saya. Cukup lama
saya mengahabiskan suasana langka itu. Suasana tenang, tanpa asap dan deru
kendaraan. Yang ada hanya bunyi-bunyian rimba: nyanyian burung, siulan angin,
dan pucuk pepohonan yang menari.
Curug Cigumawang tepat dijadikan daerah tujuan wisata,
melepas kepenatan, jeda dari rutunitas pekerjaan yang seperti tidak ada
habisnya. Namun sayang, potensi wisata ini masih jauh dari perhatian
pemerintah. Akses menuju Curug Cigumawang masih sulit dilalui bagi pengunjung
yang tidak terbiasa menyatu dengan alam. Jalanan tanah yang becek di kala
hujan, menyeberangi sungai dengan jembatan kayu seadanya, mungkin akan menjadi
kendala. Namun terlepas dari itu semua, sensasi alam Curug Cigumawang yang
eksotis cocok bagi pelancong yang merindukan kehidupan damai tanpa polusi. [*]