SERANG, BANTEN MUDA – Karya sastra merupakan medium utama untuk menegoisasikan identitas
suatu bangsa. Nilai-nilai nasionalisme dan cinta tanah air dapat ditanamkan
secara halus lewat karya sastra. Setidaknya itulah yang coba dilakukan oleh
Toto St. Radik lewat buku kumpulan cerpennya Sokrates; atawa Telunjuk Miring di Kening. Bertempat di Taman
Budaya Rumah Dunia, Minggu (9/6/2013), buku kumpulan cerpen yang memuat 11
cerita pendek Toto dibedah oleh Muhyi Mohas, dosen Universitas Sultan Ageng
Tirtasaya.
Muhyi menilai, cerpen-cerpen Toto
dapat membuka ruang kreatif dengan gaya bertutur penulisnya yang bermetafor. “Toto
St. Radik seperti sedang ngeledek dan menertawakan kekuasaan, contohnya dalam
cerpen Petruk jadi Bupati, di mana
pekerjaan pokok si tokoh utama adalah seorang penjual surabi, ” ujarnya.
“Dari keseluruhan cerita Sokrates, saya menangkap sebuah
penjelajahan jiwa yang dilakukan Toto, yang mungkin juga mewakili kita semua
atas kerinduan penataan kehidupan untuk menengok kembali sisi kemanusiaan kita,”
tutur Muhyi menambahkan.
Dalam acara yang dipandu Wahyu Arya
ini, penulis juga menceritakan proses kreatifnya dalam menyusun buku kumpulan
cerpen Sokrates. Toto St. Radik mengaku
bahwa dia membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk menyelesaikan bukunya ini. “Sokrates sudah saya impikan untuk terbit dan dibaca banyak orang sejak 2011 lalu,
meski sebenarnya cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku ini ada yang saya tulis
pada tahun 2005.” Pemilihan judul buku yang relatif panjang, Toto mengaku
terispirasi dari naskah drama yang dibacanya. “Saya sengaja memakai kata atawa dalam judul buku ini. Selain kata
itu merupakan bahasa lokal, saya sangat terinspirasi dari judul-judul naskah
pementasan yang pernah saya baca,” imbuhnya.
Toto St. Radik juga menjelaskan bahwa
ide cerpen-cerpen yang dia tulis bersumber dari orang-orang di sekelilingnya.
Seperti cerpen Ayat Perempuan yang ditulisnya ketika menyadari bahwa dia hidup di tengah-tengah banyak perempuan; ibu,
istri, dan kedua putrinya. Begitupun dalam cerpen Gigi Goyang Dombret yang terinspirasi ketika melihat gigi anaknya
belum tumbuh saat usia dua tahun. [*]
Setiawan Chogah