Setiap Minggu
sore, sejumlah anak muda berpakaian hitam-hitam tampak duduk-duduk melingkar di
Alun-alun Timur Kota Serang. Mereka bukan jawara, sebab tak tampak kesan jumawa
pada wajah-wajahnya, malah sesekali terdengar derai tawa. Juga bukan perguruan
silat yang sedang mempelajari jurus-jurus kanuragan sebab tak ada
gerakan-gerakan meninju atau menikam. Salah satu yang menandai mereka hanyalah
kalimat Roll and Action yang tertera pada kaus keempat orang itu, yang sedari
tadi berbicara secara bergantian. Ya, mereka adalah Rolling Action, salah satu
komunitas pembuat film yang eksis di Kota Serang.
Berangkat
dari keprihatinan terhadap banyaknya anak muda yang memiliki minat untuk terjun
dalam bidang perfilman, namun tidak menemukan wadah yang cocok untuk belajar.
Sementara itu, dengan bangkitnya perfilman Indonesia, minat para remaja untuk
menjadi seorang movie maker tampak semakin tinggi. Sebagian lainnya berambisi
untuk menjadi aktris atau actor film.
Bagi yang
ingin menjadi aktris atau aktor, saat ini cukup banyak lembaga pendidikan yang
membuka kursus acting. Namun, bagi mereka yang ingin menjadi seorang movie
maker, agak sulit untuk mendapatkan tempat belajar yang menyenangkan. Kalaupun
ada tempat belajar, dapat dipastikan bahwa biayanya cukup mahal. Tak hanya itu,
beberapa komunitas film di Banten yang sudah menelurkan beberapa karyanya,
dapat dinilai cenderung instan, tanpa melalui proses dan tahapan yang
seharusnya dalam membuat film.
Inilah yang
menjadi semangat bagi RG Kedung Kaban, Yayan Hadianto, Ade Ridwan, dan Rosihan dalam
membentuk sebuah komunitas bernama Rolling Action. Komunitas tersebut dibangun
sebagai wadah bagi para movie maker muda yang ingin belajar bagaimana teknik
pembuatan film yang baik dan benar berdasarkan keilmuan sinematografi. “Miris
melihat potensi anak muda Banten yang tinggi, namun minim wadah untuk mengasah
kreativitas mereka,” ungkap RG Kedung Kaban.
Dalam dunia
perfilman, keempat orang tersebut memang bukan orang baru. RG Kedung Kaban atau
yang biasa dipanggil Igun ini adalah penulis skenario untuk beberapa film
televisi di RCTI. Ade Ridwan, selain sebagai movie maker juga salah satu editor
video di TV One. Sementara Yayan Hadianto, selain sebagai kameraman, juga
pendiri komunitas film pertama di Banten, yaitu Sinten, yang sudah menelurkan
beberapa karya berupa film pendek. Pun Rosihan yang sebelumnya sempat bekerja
dan menimba ilmu di salah satu Production House sebagai video editor.
“Rolling
Action berdiri pada Juli 2012 lalu. Awal sih cuma obrolan iseng di warung kopi.
Tapi akhirnya, kami seriusi juga dan mendirikan komunitas ini,” ujar Igun.
Fokus komunitas
ini adalah memberikan pelatihan kepada para pelajar dan mahasiswa. Igun
menegaskan, keinginan terbesar komunitasnya adalah untuk mengajak generasi muda
Banten yang memiliki jiwa kreatif, agar lebih memahami bahwa dalam membuat film
bukanlah pekerjaan instan atau serba-cepat. Tidak berarti bahwa hanya dengan
memiliki kamera, ada pemain, sudah langsung bisa membuat sebuah film. “Kebetulan
di Banten minus Tangerang belum banyak generasi muda yang paham tata cara
membuat film, dan menghasilkan film yang baik itu seperti apa,” lanjutnya.
Igun
menjelaskan, sebetulnya semua orang bisa membuat film. Tapi membuat film dengan
tata cara yang baik sesuai dengan kaidah-kaidah perfilman tidak semuanya mampu.
Sebab film merupakan tempat bertemunya banyak unsur seni di luar film itu
sendiri, seperti seni peran, seni rupa, musik, sastra, dan seni lainnya. Maka proses
pembuatan film menjadi demikian kompleks.
“Artinya, dalam
membuat film itu ada ilmunya. Ada persiapan seperti pra-produksi, produksi, dan
pasca-produksi. Paling tidak, ada yang harus mengerti bahasa untuk pembuatan
skenarionya, dan ada yang harus mengerti sinematografi. Intinya, film yang baik
tidak dibuat dengan asal-asalan. Otodidak boleh, tapi tidak boleh berhenti di situ.
Harus dibarengi dengan memahami ilmunya. Jangan sampai pernah belajar sekali
terus selesai. Untuk itu, Rolling Action di sini menempatkan diri sebagai wadah
mengasah diri para anggotanya masing-masing,” jelas Igun.
Hal senada dikatakan
Ade Ridwan, salah satu pentolan Rolling Action. Menurutnya, mereka berempat
bukan orang yang paling bisa. Namun hanya ingin terus mengasah kreativitas agar
ilmu yang mereka miliki tidak pudar, sekaligus hendak berbagi dengan
kawan-kawan yang menyukai dunia perfilman. “Terjun ke dunai kreatif seperti
ini, bukan berarti kami orang yang paling bisa, tapi untuk mengasah kreativitas
agar terus tajam. Dan kami harap begitu juga dengan anak-anak muda lainnya,”
imbuhnya.
Terkait
industri kreatif, menurutnya, Banten masih tertinggal dibandingkan dengan
kota-kota lainnya di Indonesia. Bagi Ade, hal itu disebabkan oleh kurangnya
ruang-ruang untuk mengasah kreativitas bagi anak muda di Banten. “Untuk itu, yang
harus ditanamkan dalam benak generasi muda adalah iklim kreativitas yang harus terus
diasah. Intinya, iklim kreatif dulu yang kita ciptakan. Setelah itu industri
kreatif pasti mengikuti,” tandasnya.
Meskipun
komunitas ini sudah membuat puluhan film dokumenter dan company profil, baik
swasta maupun pemerintah, namun untuk film yang diproduksi atas nama Rolling
Action itu sendiri baru sampai pada tahap persiapan pra-produksi. “Dalam tahun
ini ada tiga film yang rencananya akan kita garap, yaitu Jawara, Negeri Pasar,
dan Bunglon,” tambah Yayan.
Untuk ide
ceritanya sendiri, lanjut Yayan, diangkat dari cerita pendek yang ditulis oleh
RG Kedung Kaban yang sekaligus akan membuatkan skenarionya. “Karena kerja
kolektif, kami bekerja dengan tugas dan dana sesuai kapasitasnya masing-masing.
Sehingga masing-masing individu ada peran di situ,” terangnya.
Ada harapan
besar yang dicita-citakan Rolling Action, yakni ingin membuat Festival Film
Banten secara reguler tiap tahunnya, seperti halnya yang dilakukan di Kota
Bandung, Jakarta, dan Surabaya. “Mungkin suatu saat nanti akan kami wujudkan.
Sekarang kami akan fokus dulu membuat karya yang bisa dinikmati oleh anak-anak
muda sebagai sumber inspirasi dalam berkarya,” tandasnya. [*]
Minhatul
Ma’arif