Soleh Hidayat dan Firman Venayaksa membedah buku Merawat Kesetiakawanan Sosial; Karang Taruna di Bawah Kepemimpinan Andika Hazrumy. Minggu (16/6) |
SERANG, BANTEN MUDA – Buku merupakan
sebuah karya pemikiran. Lewat buku seseorang bebas menyuarakan ide,
kegelisahan, gagasan, juga inspirational stories tentang dirinya
maupun lingkungannya sendiri. Hal inilah yang dilakukan Maksis Sakhabi, penulis
buku Merawat Kesetiakawanan Sosial;
Karang Taruna di Bawah Kepemimpinan Andika Hazrumy.
Bertempat
di ballroom Hotel Ratu Bidakara, Serang, buku ini dibedah dalam rangkaian acara
Rapat Kerja Daerah III 2013 Karang Taruna Provinsi Banten, Minggu (16/6). Buku
ini menggambarkan profil Ketua Karang Taruna Banten, Andika Hazrumy. Buku karya
Maksis Sakhabi dan Kusma Supriatna ini diharapkan bisa menjadi pendorong bagi
anggota Karang Taruna untuk lebih termotivasi melakukan gerakan di masyarakat.
Hadir dalam
acara ini, Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Soleh Hidayat
sebagai pembicara yang didampingi Firman Venayaksa, budayawan sekaligus dosen
Untirta.
Soleh
Hidayat mengatakan buku tersebut menggambarkan gerakan pemuda ternyata tidak
hanya berupa aksi tapi lebih pada upaya intelektual untuk memahami masyarakat.
"Gerakan pemuda secara fisik maupun upaya intelektual terangkum dalam buku
ini dan kita dapatkan pada sosok Andika Hazrumy. Sosok ini memiliki kriteria
sebagai leader," urainya.
Di mata
Soleh, kiprah Andika memang layak untuk dituliskan dalam sebuah buku. Mengingat
Andika adalah salah satu anak muda dengan pencapaian gemilang di beberapa
organisasi dan jabatan di pemerintahan.
Sementara
itu, Firman Venayaksa mengkritisi isi buku yang dinilainya kurang lengkap untuk
disebut sebagai sebuah biografi. “Sebagai aktivis literasi, saya menyambut baik
apapun yang dibukukan. Bagi saya, orang-orang yang menulis dan membukukan
gagasan apapun adalah investasi masa depan. Begitupun dengan buku ini, hanya
saja, saya tidak menemukan entitas buku biografi di sini.”
Menurut
Firman, sebuah buku biografi lazimnya memuat hal-hal yang humanis,
merekonstruksi fase kronologis subjek dan menggali momen-momen dramatis dan
refletif dalam kehidupan subjek sehingga pembaca bisa belajar dari pengalaman
hidupnya,” terang Firman.
Firman
menyebut, buku setebal 160 halaman ini lebih tepat disebut sebagai buku
propaganda organisasi. “Buku ini lebih mengekspos sejarah, deskripsi kerja,
pencapaian organisasi serta manfaat-manfaat tertentu di mana Karang
Taruna di Banten dijabarkan secara mendalam,” imbuhnya. Firman menambahkan,
bahwa tidak ada gading yang tidak retak, begitupun dengan sebuah karya dalam
bentuk dokumentasi tulisan. “Saya sangat mengapresiasi penulis yang sudah
bersusah payah menorehkan artefak peradaban dalam bentuk buku. Percikan
intelektual semacam ini harus terus ditumbuhkan di kalangan anak muda sehingga
tidak hanya meninggalkan jejak di masa lalu tetapi mendokumentasikannya untuk
masa depan.” [*]