Seni bukan hanya milik para seniman. Setiap manusia
yang hidup di bumi ini butuh seni. Mereka perlu hiburan, tontonan, perasaan
gembira dengan melihat, meraba, juga meresapi. Kalimat itu
masih saja terngiang-ngiang di telinga saya usai hadir di malam peringatan
Hari Jadi Gesbica (HJG) ke 27 tahun di Lapangan Syariah IAIN Sultan Maulana
Hasanuddin, Banten, Minggu malam (2/6/13).
Secangkir
kopi hitam kental dan ditingkah obrolan sedikit serius namun santai tentang
seni pertujukan yang dinilaio segmented, saya merekam setiap butir kata yang
keluar dari mulut Ade Supriyatna, Ketua Pelaksana HJG tahun 2013. “Seni ini
sebenarnya sangat plural, Kang, kalau kita mau berbicara tentang pluralism.
Makanya pada milad ke 27 Gesbica, kita ingin semua orang bisa menikmati
kebersamaan lewat seni. Malam ini kita mengundang sejumlah komunitas di Kota
Serang untuk hadir dan tampil di tengah-tengah kita semua,” tuturnya.
Gesbica
adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di kampus IAIN SMH Banten yang
bergerak di bidang pengembangan kegiatan seni dan budaya. Sesuai namanya, Gema
Seni Budaya Islam Campus, malam itu Gesbica melahirkan menghadirkan gema
kebersamaan dengan mengangkat tema Together
Me Make Soul And Creativity.
Beberapa
hari sebelum acara puncak, Gesbica sempat menggelar beberapa perlombaan dari
tanggal 30 Mei sampai 2 Juni untuk pelajar SMA sederajat dan mahasiswa se-Kota
Serang. “Ada beberapa perlombaan yang kami adakan, di antaranya lomba kelereng,
gatrik, congklak, paduan suara, anekdot, dan puisi,” tambah Ade sembari
menyeruput kopi hitamnya.
“Lomba
kelereng, gatrik, dan congklak?” saya mengernyitkan dahi.
“Saat ini
masyarakat kita seperti lupa dengan identitasnya sebagai orang Indonesia, Kang.
Mereka lebih bangga memainkan permainan import dari luar. Lewat lomba ini kita
ingin kembali membangkitkan, setidaknya bernostalgia dengan permainan
tradisonal asli Indonesia.”
“Kalau saja
kita jeli,” Asep Aunilah menambahkan, “permainan tradisional penuh dengan
filosofis nilai-nilai kehidupan. Seperti gatrik yang melatih ketangkasan atau
congklak yang mengutamakan kejujuran,” ujar Ketua Umum Gesbica 2013 itu ketika kami
terlibat diskusi ringan beberapa menit. Hal yang sama pun dia sampaikan dalam
sambutannya di awal acara malam itu.
Gesbica
seperti ingin meluruskan paradigma yang melekat pada masyarakat bahwa permainan
congklak dan gatrik adalah permainan anak-anak. Padahal, setiap orang bebas
untuk menemukan kebahagiaannya lewat semua permainan. Budaya adalah universal,
dan seni milik semua orang. Tidak memandang mereka anak-anak, dewasa, maupun
lansia sekalipun.
Malam makin
merangkak. Suara gendang makin bertalu. Butir puisi, syair lagu, jatuh satu-satu.
Lewat gema seni budaya. [*] Setiawan
Chogah