Matahari membuat garis-garis
cahaya di permukaan laut. Ada
bangau yang sesekali terbang melintas, begitu putih dan anggun. Angin, yang
menciptakan ombak-ombak kecil, menyentuh juga tubuh kecil anak-anak nelayan
yang sedang bermain, dua orang lelaki yang sedang mencari kerang, dan dua
lelaki lain yang sedang memancing. Sesekali, suara mesin perahu-perahu nelayan
yang melintas—untuk pulang ataupun pergi melaut—ikut ambil bagian dalam sore
yang menarik ini. Di sini, di Karangantu.
Kepiting-kepiting bercapit ungu
memakan lumut-lumut yang menempel di batu-batu. Ukuran kepiting-kepiting itu
beragam. Setiap ukuran memiliki kemenarikannya masing-masing. Yang kecil tampak
begitu lincah, yang besar sangat menawan. Di bagian lain, bagian yang berupa
lumpur (laut sedang surut saat ini), ratusan gelodok terlihat. Mereka
bergerak-gerak dengan sirip yang seperti tangan: saling mengejar, kemudian masuk
dan keluar permukaan lumpur. Ada garis-garis di permukaan lumpur yang tercipta
dari gerakan para gelodok itu.
Tidak banyak yang datang ke sini,
sebenarnya, untuk sengaja menghabiskan sore. Hanya warga Karangantu, beberapa
lelaki yang memancing, dan sepasang muda-mudi. Lagipula, tempat ini memang
tidak pernah ramai karena sebutan ‘objek pariwisata’ belum melekat padanya.
Karangantu hanya dikenal sebagai pasar ikan, tempat memancing, atau tempat
kapal-kapal transportasi menunggu penumpangnya yang ingin pergi ke pulau-pulau di
seberang, yang jaraknya dua sampai tiga jam perjalanan; salah satunya adalah
Pulau Tunda. Tetapi, itu tidak berarti bahwa Karangantu tidak memiliki
keistimewaan.
Karangantu, sebagai salah satu wilayah
bersejarah di Banten, memiliki daya tariknya sendiri, yaitu masa lalunya. Mari
kita sedikit bernostalgia, sesuatu yang ingin sekali saya lakukan di ujung
jalan kecil yang menjorok ke laut ini. Laut cukup tenang, gunung-gunung yang
jauh bisa terlihat dari sini, sinar matahari sudah tidak menyengat, dan kita
bisa merasa seperti dibawa ke masa-masa kesultanan; melihat Karangantu yang
masih menjadi pelabuhan besar yang masyhur di kalangan lokal dan internasional.
Kapal-kapal besar yang berlayar
dari Arab, Persi, Gujarat, Birma, Tiongkok, Perancis, Inggris, China, dan
Belanda, memenuhi pelabuhan Karangantu ini. Di dalam kapal-kapal dagang itu,
berat barang dagang bisa mencapai 300 ton. Di sini, mereka saling menjual dan
membeli barang. Para saudagar lokal sibuk menjual beras dan lada, para saudagar
internasional menjual kain, minyak, tembaga, permata, gading, peti berukir, dan
lain-lain. Sebagai pelabuhan internasional yang penting, Karangantu telah
membuka gerbang perdagangan yang luar biasa potensial di Banten.
Begitu panjang riwayat
Karangantu. Sejak kerajaan Islam berdiri, di bawah pimpinan Sunan Maulana
Hasanudin, dan pusat kekuasaan terletak di Banten Lama, Karangantu menjadi
pelabuhan terpenting di Banten. Dari wajahnya yang dikelilingi tembok kota dan pasar
Karangantu yang dibatasi pagar kayu dan bambu pada tahun 1598, mulai berdirinya
perumahan-perumahan pada tahun 1725, sampai hanya berupa pelabuhan yang
dikelilingi tambak ikan. Karangantu, barangkali, mulai kehilangan dirinya yang
besar sejak pendudukan Belanda, dan bergesernya pusat-pusat perdagangan di
Banten.
O, masa lalu, apa yang kau
sisakan untuk hari ini? Kalau kita melihat Karangantu hari ini, kita bisa
mengatakan bahwa semangat perdagangan itu hanya tertinggal sedikit saja. Perdagangan
hanya diramaikan oleh penjualan ikan laut dan barang-barang sembako biasa yang
bisa ditemui di mana saja. Apalagi, melihat infrastruktur yang sampai saat ini
belum signifikan membaik, Karangantu jelas telah kehilangan banyak hal.
Sementara itu, matahari mulai
menyingsing. Garis-garis cahaya yang tadi berwarna cerah, kini mulai
mengoranye. Ada sekawanan bangau yang terbang, pulang ke sarang mereka yang
entah di mana. Suara mereka beradu dengan air laut yang membentur batu-batu, dan
angin mulai terasa kencang menerpa tubuh. Tetapi, laut belum akan pasang.
Seorang penjaga parkir memberitahu saya bahwa belakangan laut hanya akan pasang
pada pukul sepuluh malam. Saya beranjak ke warung kopi, mengobrol dengan
penjaga warung—sepasang suami istri yang sudah tua—dan sepasang suami istri
yang tampaknya baru selesai memancing.
“Sebenarnya, Karangantu lumayan
menarik kalau jadi objek wisata,” kata sang suami yang baru selesai memancing,
ketika kami sudah memulai obrolan terkait Karangantu. Di plastik hitam yang
dibawanya, beberapa ekor udang dan ikan kerapu sudah berkawan es batu.
“Tapi dibenerin dulu jalannya,”
sambung Nenek penjaga warung.
Gelap malam merambati kami,
tempat parkir, laut yang masih bisa kami lihat, dan kapal-kapal nelayan.
Beberapa kapal baru akan melaut, yang hanya bermodal lampu utama yang digantung,
senter, jala, dan perlengkapan lainnya. Jika kapal nelayan itu sudah jauh, kami
hanya bisa melihat kerlip lampu utama itu, yang tampak menyerupai kunang-kunang
raksasa yang terbang di atas permukaan laut. Ya, ucap saya dalam hati, Karangantu
memang menarik. Andai saja Karangantu benar-benar dirapikan, maka orang-orang akan
kembali berdatangan. Bukan tidak mungkin semangat berdagang masyarakat
Karangantu akan tumbuh lagi, dan Karangantu—kelak—tak sekadar menjadi tempat pariwisata,
tetapi juga titik perekonomian Banten. [*]
Na Lesmana