![]() |
FOTO. Istimewa |
Malam tadi
(2/5/2013) Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta menyelenggarakan
pemutaran film dokumenter Di Balik Frekuensi karya Ucu Agustin. Film berdurasi
1 jam 44 menit ini menyoroti Luviana, seorang mantan jurnalis Metro TV yang
menuntut keadilan terkait dirinya yang di-nonjob-kan dengan alasan yang tidak
jelas. Film ini juga menyoroti kisah Hari Suwandi-Harto Wiyono yang mencari
keadilan dalam menuntut haknya terkait kasus lumpur Lapindo.
Tema besar
dari film ini adalah menguliti persoalan korporasi media di Indonesia yang
cenderung dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk kepentingan politik dan
ekonomi. Sehabis menonton film "Di Balik Frekuensi" Himakom Untirta
melakukan pembedahan karya tersebut. Pemdedahnya adalah Yoki Yusanto, mantan wartawan
Metro TV, Puspita Asri Praceka, dosen Komunikasi Untirta, dan Firman Venayaksa
selaku pengamat budaya massa.
Pada
kesempatan tersebut, Yoki Yusanto yang juga dosen film dokumenter Untirta
mengatakan bahwa sulit sekali untuk menjelaskan persoalan netralitas media
massa hari ini. "Semua sarat dengan kepentingan," katanya. Hal ini
dipertegas oleh Puspita Asri Praceka Handrianto yang menjelaskan bahwa media
dengan modal yang begitu besar, pasti sangat berdampak pada urusan pemberitaan.
"Dengan modal besar itulah mereka harus bisa bernegosiasi dengan hal-hal
di luar pemberitaan."
Pada kesempatan yang sama, Firman Venayaksa selaku pengamat budaya massa menegaskan bahwa di dalam sejarah keberlangsungan budaya massa, media massa yang merupakan corong pemberitaan masyarakat, tidak pernah bisa netral. "Netralitas adalah utopia bagi dunia jurnalistik. Mereka pasti berpihak; minimal mereka harus berpihak pada kebenaran," tegasnya. "Hal itu bisa kita lihat dari film dokumenter yang kita tonton. Film ini jelas mengajak kita untuk melakukan refleksi atas boroknya korporasi media saat ini," tambahnya.
Diskusi
yang selesai hingga pukul 23.00 itu memberikan konklusi bahwa masyarakat harus
pintar-pintar memilah media mana yang perlu diakses dan mana yang perlu
ditinggalkan. "Sebagai mahasiswa ilmu komunikasi, kita perlu untuk
mengadvokasi masyarakat agar bisa melek media literasi," ungkap Haedi Sendiri di
akhir diskusi. (FV/Biem)