Orang
China Naik Langit
Cerpen Sunlie Thomas Alexander
Aku tak tahu bagaimana
persisnya cerita pendek ini bermula—atau tepatnya perkara apa yang melatarinya.
Kedua orang itu (ibu mertua dan kakak tertua suamiku yang kami panggil Thai Pak) sedang bertengkar sengit di
dapur, ketika aku pulang dari mengantar anak bungsuku ke sekolah. Dan seperti biasa
suara mereka cukup tinggi—melambung melewati tembok-tembok ruko di kiri-kanan—sehingga
jelas terdengar oleh semua tetangga. Tak ada yang peduli. Keduanya, ibu dan anak,
sudah terlalu sering bertengkar. Nyaris dua-tiga hari sekali. Selalu ada saja
yang mereka ributkan. Dari hal-hal sepele, persoalan-persoalan lama yang
itu-itu juga, hingga terkadang masalah-masalah yang tak terduga oleh siapa pun.
“Besok aku tak mau
datang lagi!” suara Thai Pak menggeram,
terdengar begitu gusar.
“Memang siapa yang
suruh kau ke sini? Aku tak butuh anak durhaka seperti kau!” teriak ibu mertuaku
setengah kalap. Aku tersenyum kecut. Ah, besok pagi mereka pasti sudah berbaikan
lagi, pikirku geli. Percuma dilerai, bisa-bisa ikut jadi sasaran kemarahan. Maka
aku memilih pergi ke sumur di belakang dapur; ada setumpuk pakaian kotor yang
harus kucuci. Tapi tak urung aku menghela napas, ketika mendengar bunyi gedebuk keras meja ditepuk menyusul sederet
kata-kata cacian.
Setiap kali bertengkar,
ibu mertuaku selalu memaki-maki putra sulungnya itu sebagai anak durhaka yang tidak
berbakti, kualat pada leluhur, atau bukan lelaki China yang bisa dibanggakan.
Bukan lantaran anaknya itu tidak memperhatikannya atau memberinya uang.
Penyebabnya aku kira, karena Thai Pak
tak pernah berkenan memegang dupa lagi. Sejak masuk Kristen Protestan kurang
lebih dua tahun silam, ia bukan saja enggan menyembahyangi arwah mendiang bapak,
kakek-nenek, dan para leluhur kami, bahkan melarang keras anak-anaknya makan
makanan bekas sesajen sembahyang.
“Jangan pernah
menyentuh makanan berhala, kau bisa dirasuki setan!” katanya mengancam putri
bungsunya yang baru duduk di bangku kelas tujuh. Semua anaknya—empat orang
putri, termasuk putri sulung yang sudah menikah—patuh, kecuali Kim Fa, putri keduanya
yang baru menamatkan SMK (yang walau ikut berpindah agama seperti kedua
orangtuanya, namun selalu ikut kami berziarah ke kubur kakeknya setiap hari
raya Chin Min[1]).
Tentu, ketika kata-kata
itu terdengar oleh ibu, beliau mengamuk besar. “Anak tak tahu diuntung! Beruntung
tidak semua anakku seperti kau! Bisa-bisa setelah mati nanti aku jadi arwah
penasaran karena tak kau sembahyangi!” umpat ibu mertuaku dengan wajah merah
padam.
“Jangan kuatir, Ma. Aku
akan kirim seekor babi panggang yang paling besar ke kuburmu nanti!” Begitulah
tabiat Thai Pak, tak mau kalah,
selalu membantah dan sering kali kurang ajar. Namun kukira sifat pemberang dan keras
kepalanya itu adalah warisan dari sang ibu sendiri. Berbeda sekali dengan
saudara-saudaranya yang lain yang lebih mirip mendiang bapak mertuaku, terutama
suamiku yang pendiam dan tak suka terlibat masalah.
“Anak itu,” gerutu ibu,
“benar-benar telah dicuci otaknya oleh keluarga Fa Liung dan para pendeta! Dulu
dia tak sekualat ini, sampai-sampai tak mau sembahyangi arwah bapaknya
sendiri!” Fa Liung yang dimaksud adalah teman lama Thai Pak, dan setiap orang Tionghoa di kota kecil ini tahu kalau ia
seorang aktivis gereja. Begitulah.
Sementara itu bagi Thai Pak, ibunya adalah nyonya tua kolot
yang ceriwis dan sok berkuasa. Ia menyebut sang ibu sebagai Ibu Suri Dinasti
Qing. Toh sehabis bertengkar sengit,
keesokan paginya seperti biasa, ia akan datang lagi ke rumah membawakan bubur
ayam untuk sarapan ibunya. Dan sang ibu sudah memaafkan anaknya seolah-olah tak
pernah terjadi percekcokan di antara mereka.
***
Ya, Thai Pak memang tampak sedikit
beringasan. Namun demikian, semua orang yang mengenalnya lebih baik, tahu kalau
ia sebetulnya memiliki hati yang lembut, cepat tersentuh, dan ringan tangan.
Meskipun mendidik anak-anaknya dengan keras, konon—menurut Nyun Pak-Me[2] (sang istri)—seumur-umur tak pernah
sekali pun Thai Pak memukul
anak-istrinya.
Aku pikir, hanya karena
penampilannya saja, dengan badan tinggi besar dan wajah berewokan, ia tampak
kasar. Berbeda dengan suamiku yang selalu berpenampilan rapi karena cuma
duduk-duduk di belakang meja kasir toko pakaian, Thai Pak sehari-hari selalu mengenakan celana pendek selutut dan sehelai
singlet butut dekil—kadang bebercak darah. Maklumlah, pekerjaannya berjualan
daging babi di pasar.
Dan kendati datang ke
ruko setiap pagi, jarang Thai Pak bercengkrama
dengan kami. Hanya berbicara seperlunya. Biasanya ia langsung nyelonong ke belakang toko yang menjadi
tempat tinggal kami sekeluarga (beserta lantai atas) untuk menemui ibunya:
meletakkan bubur ayam di meja dapur. Berbincang-bincang sebentar jika tak
bertengkar sengit, sebelum akhirnya ia berangkat lagi ke pasar babi.
Hubungan Thai Pak dengan suamiku memang agak aneh
dan tampak serba-canggung. Syahdan hubungan kakak-beradik yang kikuk itu mesti
dirujuk jauh ke belakang, ketika suamiku masih kanak-kanak. Tak terlalu penting
untuk diceritakan di sini, hanya sekadar info dari apa yang pernah kudengar: ketika
berumur delapan tahun, suamiku pernah nyaris mati tenggelam saat diajak Thai Pak yang beranjak remaja mandi di kolong[3]. Beruntung
saat itu ada orang yang sedang mancing menolongnya. Thai Pak sendiri dihajar bapaknya dengan rotan hingga melolong. Sejak
itu keduanya seolah saling menjaga jarak.
Namun Thai Pak-lah yang bersuara paling keras
membela adik bungsunya ini ketika dulu ibu mertuaku menentang hubungan kami. Barangkali
Thai Pak benar, sang ibu terlalu
mengatur kehidupan kelima anaknya (seorang perempuan: Fa Thai Ku[4]),
termasuk masalah jodoh. Tiga dari menantunya merupakan hasil perjodohannya,
kecuali aku dan Nyun Pak-Me. Ya, beliau
tentunya juga tak segan turut campur dalam soal keyakinan!
***
“Bulanmu itu sudah
diberaki sama orang Amerika, tahu!” tukas Thai
Pak dengan wajah sinis ketika ibunya menggelar sesajen di pekarangan
belakang rumah untuk dewi bulan Song Ngo saat perayaan Pat Ngiat Pan[5] tahun lalu.
Ah, bagi Thai Pak, manusia pertama yang
menginjakkan kakinya di bulan tentu saja astronaut Amerika, Neil Armstrong. Sedangkan
ibu mertuaku begitu yakin kalau Song Ngo, perempuan cantik di zaman Dinasti
Hsia itulah yang pertama kali mendarat di bulan setelah menelan sejenis pil
herbal.
“Aku juga tak percaya
Yesusmu bisa melangit! Sun Go Kong cuma perlu bersalto tiga kali untuk sampai
ke kahyangan! Kalau perkara menghidupkan orang mati, Dewi Kwan Im dan banyak
dewa lain juga bisa melakukannya,” jawab sang ibu dengan nada melengking.
Dari lima orang anaknya
itu hanyalah suamiku yang setia menemaninya ke kelenteng pada setiap tanggal 1
dan 15 kalender lunar. Si bungsu kesayangan yang justru tamatan “sekolah pastor”.
Fa Thai Ku, Hiung Pak, dan Bun Pak, semuanya memilih dibaptis di gereja Katolik saat mereka beranjak
remaja. Sang ibu tentu meradang, tapi akhirnya menyerah setelah tahu pastor yang
berkebangsaan Belanda tak pernah melarang anak-anaknya menyembahyangi leluhur. Pastor
itu sering berkunjung ke rumah untuk memberikan pelajaran agama kepada ketiga
anaknya dan suatu hari menawarinya ikut dibaptis.
Apa jawaban ibu
mertuaku? Dengan lantang ia menyahut: “Aku tak akan menyembah dewa orang Barat
yang berwajah sedih! Bagaimana dewamu yang terpaku tak berdaya dan digantung di
dinding itu bisa membantu manusia jika matinya tragis begitu? Dewa harus
berwajah gembira agar bisa berbagi sukacita dan membebaskan manusia dari
penderitaan!”
Dan sejak itu sang pastor
tak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal keselamatan dan penebusan di hadapannya.
Thai
Pak
sendiri, meskipun suka ikut menyimak adik-adiknya menghafal doa Ban Fuk Malia[6] dan Cai
Thian Ngo Ten Fu Ca[7], waktu
itu enggan dipermandikan. “Aku tak mau melarikan diri pada agama!” katanya
tegas. Itu puluhan tahun silam, ketika bapak mertuaku belum punya ruko dan
masih berjualan kain keliling.
Walau agak cemas pada
jawaban Thai Pak, ibu mertuaku ketika
itu diam-diam merasa gembira juga mendengar si sulung tidak tertarik masuk
Katolik seperti adik-adiknya. Dan kecemasan itu kemudian menjadi beralasan: betapa
Thai Pak sering tampak
bersungut-sungut setiap kali membakar dupa untuk menyembahyangi arwah
kakek-neneknya.
“Waktu masih hidup
belum tentu kalian jamu mereka dengan hidangan semewah sesajen ini!” begitulah gerutu
Thai Pak yang masih bersekolah di
Tiong Hoa Hwee Koan[8]—kenang
suamiku. Ujung-ujungnya ia dengan tegas menolak bersembahyang di kelenteng. Tak
ada Tuhan atau dewa-dewa maupun hantu lagi di dunia ini. Agama benar-benar berbahaya
seperti opium yang dibawa orang Inggris untuk menghancurkan China dari dalam. Hanyalah
semata-mata menghormati tradisi dan ajaran Kong Fu Chu, ia masih berkenan
memegang dupa di depan altar kakek-neneknya.
“Orang China sudah
terlalu lama dijangkiti penyakit takhayul akut! Tak heran kalau kita
diolok-olok orang Barat dan Jepang sebagai pesakitan dari Asia Timur,
dipermalukan dan diinjak-injak!”
Demikianlah, seperti
kebanyakan pemuda Tionghoa sebayanya, gerakan nasionalisme China yang meluas ke
seluruh dunia sejak jauh hari sebelum Perang Pasifik telah membuat Thai Pak jadi pemuja rasionalitas. Toh, tahun itu juga (1963) ia menamatkan
sekolahnya sebagai salah seorang lulusan terbaik. Dan sang bapak, yang masih
terbawa semangat Revolusi 1911[9], memamerkan
ijazah anaknya kepada setiap orang yang beliau temui dengan muka berseri-seri.
Karena itu, kami—dan
saudara-saudara lain—sungguh tak habis pikir ketika Thai Pak dan anak-istrinya tiba-tiba memutuskan menjadi penganut
Kristen Protestan kurang lebih dua tahun silam. Tanpa rambu-rambu sebelumnya, mendadak
‘buah pendidikan sekularisasi China ala Tiong Hoa Hwee Koan’ ini setiap malam
Minggu atau Minggu pagi tampak rajin mengepit Alkitab ke gereja.
“Alleluya, terpujilah
nama Fa Liung!” olok Hiung Pak yang
sedari dulu gemar berkelakar, tergelak. Ibu mertuaku uring-uringan dan akhirnya
meledak ketika pada perayaan Chit Ngiat
Pan[10],
putra sulungnya itu (beserta sang istri) enggan membakar dupa atau menjura di
depan kertas-kertas nama mendiang bapak dan kakek-neneknya sendiri.
“Kenapa dia tidak
mengaku sebagai adik Yesus sekalian seperti Fùng Siu-chiòn[11]?!”
teriak perempuan uzur itu dengan wajah merah padam. Kata ‘syirik’ yang terlontar
dari mulut Thai Pak kali ini
tampaknya memang jauh lebih menyakitkan hati sang ibu dari sekadar kata
‘takhayul’ yang sering ia ucapkan dulu sebelum memilih ‘beragama’!
***
Sehari, dua hari, tiga
hari, kemudian seminggu berlalu sejak pertengkaran sengit pada pagi yang
mengawali cerita pendek ini, Thai Pak
tak juga muncul di rumah. Ada apa sebetulnya? Apa yang terjadi? Tiga hari
pertama, aku dan suamiku masih bersikap cuek dan menganggap santai
ketidakhadiran Thai Pak yang biasa
rutin membawakan bubur ayam untuk ibunya.
“Kalau ia sudah tak
peduli lagi pada ibunya yang sudah tua ini, ya sudah! Aku tak akan meminta
belas kasihannya. Dari dulu ia memang anak durhaka!” jawab ibu mertuaku ketus
saat ditanya suamiku ada persoalan apa antara dirinya dengan Thai Pak. Namun pada hari kedelapan
ketika Thai Pak tak kunjung
bertandang, beliau mulai kelihatan gelisah. Pembawaannya jadi lebih sensitif
tapi juga mulai jarang bicara dan lebih banyak mengurung diri dalam kamar.
Barulah pada hari
kesembilan tiba-tiba kami mendapatkan kabar yang mengejutkan itu. Menjelang
siang, Kim Fa datang tergopoh-gopoh dengan mata sembab mengabarkan bapaknya masuk
rumah sakit, tepatnya dibawa ke Balai Pengobatan Bakti Timah—ah, satu-satunya rumah
sakit kelas D di kota kecamatan kami hingga kini.
“Sudah lebih seminggu
asma Papa kambuh, tapi tadi pagi tiba-tiba memburuk,” tutur Kim Fa sambil
terisak kecil.
“Kenapa baru sekarang
kalian memberitahu kami?” tukasku agak jengkel. Gadis itu menunduk, lalu menjawab
terbata-bata, “Kami tidak menyangka akan separah ini, Sim[12].
Biasanya minum obat dari apotek juga sembuh. Lagipula Papa melarang kami
memberitahu. Tak mau merepotkan.”
Suamiku mendengus. Tanpa
memberitahu ibu mertuaku, kami langsung meluncur ke Balai Pengobatan dengan
berboncengan sepeda motor.
Kami masih sempat
melihat lelaki tinggi besar itu tergolek tak berdaya di atas ranjang dengan selang
oksigen terpasang di hidungnya. Kami masih sempat mendengar napas beratnya yang
seperti tersumbat di rongga dada dan mengeluarkan suara mirip ngeongan anak kucing. Tapi semua seperti
mimpi buruk. Nyun Pak-Me menangis
tersedu-sedu, juga Kim Fa dan saudari-saudarinya.
“Kenapa tidak cepat kalian
bawa ia kemari?!” kata dokter Lukas—dokter langganan kami yang menjabat kepala
Balai Pengobatan—marah. Kami betul-betul syok dan tidak bisa menjawab. Yang aku
dan suamiku pikirkan hanyalah bagaimana caranya menyampaikan kabar duka ini
kepada ibu mertuaku.
Namun begitu kami tiba
di rumah dan belum sempat mengatakan apa pun, beliau yang sedang duduk minum
teh di dapur sudah mendahului bicara. “Tak usah bilang apa-apa. Aku sudah tahu.
Ruh anak itu barusan datang kemari memberitahuku,” katanya lemah. Tentu saja
aku dan suamiku kaget bukan main mendengar kata-kata yang meluncur keluar dari
mulut ibu mertuaku itu.
“Ah, anak itu, anak itu…,”
desisnya, “Tanpa asap dupa, semoga saja ia bisa sampai ke langit seperti para astronaut
China kebanggaannya. Awas kalau ia sampai jadi arwah penasaran, luntang-lantang
dan datang ke sini minta makan!” lanjut beliau dengan mata yang jelas tampak
berkaca-kaca. Aku dan suamiku saling pandang dengan kening berkerut. Langit
bagi orang China bisa berarti kahyangan atau surga, tetapi astronaut? Apa
maksud perempuan tua ini?
Tiba-tiba aku teringat
pada sebuah kejadian kecil yang lucu kurang lebih enam bulan silam. Waktu itu, Thai Pak datang membawa surat kabar yang
memuat berita kesuksesan misi antariksa RRC mengorbitkan manusia ke ruang
angkasa[13].
“Mama lihat ini! Berkat
penguasaan teknologi canggih, orang China sekarang sudah bisa membuat kendaraan
dewa dan pergi ke luar angkasa!” ujar Thai
Pak penuh cemooh sambil menunjukkan halaman surat kabar yang berisi foto
pesawat ruang angkasa dan tiga orang astronaut itu kepada ibunya. Pesawat
antariksa itu memang diberi nama Shenzhou-9, yang artinya Kendaraan Dewa!
Ketika itu kedua mata
sipit ibu mertuaku membesar dan beliau menyeletuk ketus, “Huh, kau pikir bisa bohongi
orang tua sepertiku? Ini jelas gambar pesawat dalam film! Dan siapa orang-orang
berpakaian aneh ini? Memangnya mereka orang suci? Dari tampang saja sudah
kelihatan kalau ketiganya bukan orang yang bisa mencapai Pencerahan!”
Aku yang saat itu
ikut-ikutan menyimak koran yang dibawa Thai
Pak hanya tersenyum. Sementara wajah Thai
Pak yang berminyak tampak memerah oleh kemenangan dan rasa bangga... [*]
Krapyak
Wetan, Yogyakarta, Februari 2013
Catatan:
[1] Hari berziarah kubur.
[2] Ipar, istri dari kakak lelaki suami.
[3] Danau
yang terbentuk oleh penambangan timah di pulau Bangka.
[4] Kakak perempuan suami yang paling tua.
[5] Perayaan bulan dewa-dewi, biasa jatuh pada
15 bulan 8 kalender lunar.
[6] Salam Maria.
[7] Bapa Kami.
[8] Tiong Hoa Hwe Koan, sebuah perkumpulan untuk memajukan
pembaruan Konfusian dari kebudayaan Tionghoa lokal dengan memajukan pendidikan
berbahasa Tionghoa modern. Karakter sekolah ini menggunakan bahasa Mandarin
dalam pengajarannya, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tetapi tidak
memberikan pelajaran bahasa Belanda. Model mereka adalah sekolah modern di
Tiongkok dan Jepang, dengan pengaruh Barat yang kuat dalam mata pelajarannya.
[9] Revolusi dr. Sun Yat Sen berhasil
menggulingkan Dinasti Qing dan mendirikan Republik China (Chung Hwa Ming Kuo)
pada 10 Oktober 1911.
[10] Hari raya para hantu, setiap 15 bulan 7
kalender lunar.
[11] Fùng Siu-chiòn (Hung Hsiu-ch'üan/Hong Xiuquan) memimpin Pemberontakan
Taiping melawan Dinasti Qing (1850-1864). Usai merebut Nanjing pada 1853, ia
mendirikan “Taiping Thian Kuo”(Kerajaan Surga Damai Agung). Ia berdasarkan
seluruh perjuangannya pada Alkitab dan bercita-cita menjadikan China sebagai
negara Kristen. Awalnya pemberontakan ini didukung negara-negara Barat, namun
setelah tahu Fùng
Siu-chiòn ternyata agak gila dan mengaku sebagai adik
Yesus Kristus, mereka langsung berbalik membantu Dinasti Qing.
Pemberontakan sekte Kristen Protestan ini berhasil dihancurkan oleh tentara
Qing pada tahun 1864. Fùng Siu-chiòn sendiri meninggal karena keracunan makanan ketika Nanjing
dikepung.
[12] Bibi,
istri paman dari pihak ayah.
[13]
Pesawat luar angkasa China, Shenzhou-9
yang membawa tiga orang astronaut berhasil berlabuh di laboratorium ruang
angkasa Thian Gong-1 pada 24 Juni 2012. Salah satu dari tiga astronaut itu
adalah astronaut wanita pertama China bernama Liu Yang. RRC
adalah negara ketiga yang berhasil mengirim manusia ke luar angkasa setelah Uni
Soviet (Rusia) dan Amerika Serikat.
.