Jajang C Noer menghadiri acara pemutaran dan diskusi film Mata Tertutup di Auditorium Untirta, Selasa (17/4) |
Sebuah notifikasi dari Twitter
membuat LED Indicator di pojok kanan atas ponsel saya berkedip-kedip.
Saya memencet icon bergambar burung biru itu dan terpampang sebuah
mention dari @InfoUntirta dengan sederet twitnya tentang pemutaran
dan diskusi film Mata Tertutup yang akan dilaksanakan hari ini di
auditorium Untirta, Selasa, 16 April 2013. Saya mengintip pojok kanan bawah
komputer lipat saya, masih ada waktu setengah jam untuk bersiap-siap –
kebetulan dari pagi saya belum mandi.
Dengan langkah yang lebih cepat dari
biasanya, saya bergegas menuju Gedung B kampus Untirta Serang. Beberapa teman
mahasiswa mengantre di pintu masuk auditorium. Saya langsung menulis nama di
buku tamu dan mengatakan saya dari Banten Muda. Panitia penyelenggara
agaknya sudah tahu tentang media tempat saya mengabdi, saya dipersilakan masuk.
Jajang C Noer, salah satu pemeran
utama dalam film Mata Tertutup tengah berdiskusi dengan puluhan penonton
yang hadir. Saya hanya mendengarkan, Mbak Jajang yang didampingi Manager
Program Maarif Institut memaparkan sekilas tentang Mata Tertutup.
Film yang disutradarai Garin Nugroho
dengan durasi 90 menit itu bercerita tentang sejarah dan perkembangan
radikalisme di Indonesia, dari organisasi yang kelihatan hingga yang tidak
terlihat. Melalui film berjudul Mata Tertutup, masyarakat diharapkan lebih
mengenal organisasi ini sehingga bisa lebih membuka mata dan waspada. Film ini
memiliki 3 cerita inti, yang pertama mengambil setting Yogyakarta, menceritakan pergulatan Rima (Eka Nusa
Pertiwi) dalam pencarian identitas yang akhirnya tergabung dalam NII. Ia
menjadi ujung tombak pengumpulan dana, sehingga mendapat pujian dari pimpinan
NII. Proses perekrutan dengan penculikan dan penutupan mata korban saat berada
di dalam mobil, pencucian otak dengan memberikan potongan-potongan Al Quran dan
hadis yang dimaknai sembarangan, sampai pengumpulan dana untuk merealisasikan
tujuan utama NII, mendirikan Darul Islam, digambarkan dengan gamblang.
Cerita kedua tentang Sobir (Dinu
Imansyah), seorang santri miskin dan hidup di pemerintahan yang tidak
melindungi rakyat, hidupnya berakhir tragis karena nekat menjadi bomber. Namun,
tak sempat bom diledakkan dirompi yang dikenakan, aparat hukum menembak mati.
Dia rela melakukan aksi bom bunuh diri untuk menyerang Thaghut, pemerintahan
yang dianggap kafir, yaitu Pemerintah Indonesia, agar dapat memberikan syafaat
(pertolongan) bagi keluarganya di akhirat nanti. Dalam film ini, Garin juga
membuka sisi lain dari NII dan JI lewat tokoh Aini. Di sini digambarkan
perekrutan anggota baru dapat terjadi pada siapa saja, tak hanya orang yang
bermasalah atau miskin. Aini adalah anak tunggal seorang perajin asal Padang
yang sukses. Dia hilang selama tiga bulan. Saat kembali, dia mengalami trauma
berat.
Beberapa scene sempat membuat
mata saya berpendar, buram. Adegan yang menggambarkan ketulusan hati seorang
ibu, dimainkan secara apik oleh Mbak Jajang C Noer dengan logat dan dialeg
Minang. Terlebih saat tokoh Aini kembali ke rumah dan langsung mendapat pelukan
hangat dari ibunya, tanpa ada luapan kemarahan. Satu pesan yang dapat saya
petik dari adegan itu adalah memarahi bukanlah cara terbaik untuk membuat sadar
anak yang melakukan kesalahan. Marah justru akan semakin membuat anak semakin
tertekan dan merasa dikucilkan. Adegan paling indah dalam film ini adalah
tentang pertobatan tokoh Rima yang mendengar lantunan lirik-lirik Tanah Airku
dari balik jendela kamarnya. Ah, sungguh, dari relung hati terdalam saya
berdoa, semoga negeri tercinta tetap utuh dalam satu pelukan; Republik
Indonesia. (Chogah/ ft. Chogah)