Iwan
K Hamdan
Catatan pada bedah buku
Demokrasi, Islam dan Kebantenan
Karya Ali Faisal, SH.MH.
Narasi besar sejarah Indonesia kontemporer, tengah menanjak
dan berliku. Demokratisasi, HAM, kebebasan, desentralisasi, dan persaingan
menjadi deretan mantra yang menghipnotis semua kalangan. Euphoria merebak,
selepas orde reformasi, bersamaan dengan gelombang demokratisasi,
trans-nations, tatanan dunia baru, (New world order), IT dan pergeseran tata
hubungan internasional yang makin transparan dan interdependensi, aliansi dalam
sector privat sector dan lain sebagainya. Kesemua karakter new world order
tersebut, secara telak mempengaruhi mindset, attitude dan orientasi masyarakat
termasuk kaum elitnya. Masing-masing
strata social ini memiliki persepsi, penilaian dan aktualisasi diri yang
berbeda-beda. Antara kaum elit, rakyat biasa, negara, para saudagar dan lain
sebagainya menunjukkan identitas, mindset dan perilakunya sendiri. Semuanya
didorong oleh kata ; kebebasan, persaingan dan atas nama demokrasi. Dimana
peran negara ? terus terang “Gamang” !. negara mengalami reposisi yang sangat
fundamental. Perannya makin kompleks. Demokrasi dan pergeseran tata dunia
menyebabkan dunia menyebabkan peran negara hanya menjadi polisi pengatur lalu
lintas arus politik dan lain sebagainya.
Itu sebabnya, banyak
contoh negara gagal (failed state) dalam menjalankan perannya di era ini. Meskipun secara fisik bentuk dan
kedaulatan negara masih berperan, namun sejatinya peran negara telah gagal.
Contohnya ; Yunani, Italia, Perancis, dan banyak negara lainnya. Negara tengah
ditantang menjalakan peran barunya. Seperti yang ditunjukkan oleh China, India,
Korea dan Jepang. Negara-negara ini, sukses
melakukan transformasi fundamental peran negara.
Malaise (kelesuan
ekonomi Eropa) yang makin mengkhawatirkan akhir-akhir ini, memaksa para analis
dunia mengalihkan pandangan harapan ke Asia. Seperti Mac.Kensie. Indonesia
menjadi negara kampium ekonomi baru di tahun 2045. Lepas dari keraguan kita,
setidaknya Mac Kensie, memberi enersi baru bagi negeri ini untuk berbenah diri.
Melakukan perubahan radikal. Meski, jalannya berliku.
Kita semua mafhum,
reformasi yang di perjuangkan kaum Mahasiswa dan kalangan pemuda yang didukung
kaum elit belum banyak melahirkan harapan kongkrit bagi rakyatnya. Tapi
setidaknya, meski melelahkan bagi anak bangsa. Jalan ini memang harus kita
tempuh. Negeri ini, besar, ribuan pulau, Ratusan juta penduduk dan politik dan
demokrasi yang masih embrional. Embrional ? yah karena kita tengah belajar bagaimana demokrasi dan politik itu di
jalankan dalam kondisi ekonomi, pendidikan dan road map reformasi politik dan
demokrasi yang tidak jelas. Tak ada cetak biru bersama, bagaimana reformasi ini
di jalankan. Auto pilot negara memang diakui atau tidak tengah terjadi. Negara
makin, lunglai dan gagap menghadapi derasnya demokrasi dan politik, pasar
ekonomi yang makin merajai, kekerasan antar anak bangsa bahkan antar aparat
hukum, korupsi berjamaah. Hingga makin merajai-nya premanisme dan perkara
kedele, sapi, bawang merah-putih yang kita anggap ringan-pun negara harus
berkeringat deras menyelesaikannya. Keran Impor di buka lagi. Para pemburu
rente berpesta pora. Kaum petani meratapi nasibnya.
Akibatnya pertanian,
perkebunan dan perikanan yang menjadi unggulan utama negeri ini, justru
dijauhkan anak-anak generasi muda kita. Pola pikir dan kebijakan jalan pintas
(short cut) jadi kebiasaan dalam menyelesaikan beragam perkara kebangsaan atas
nama stabilitas dan keamanan negara. Negara tidak boleh terancam. Begitu kata
elit. Oleh karenanya, akan mengganggu iklim ekonomi dan investasi. Namun
sejatinya, perkara keadilan dalam semua bidang dipertontonkan secara vulgar.
Hukum, ekonomi, pendidikan, social dan lain sebagainya. Deretan fakta-fakta
diatas adalah sisi factual negeri ini. Namun, disisi lain, beragam fakta lain
juga muncul. Keberhasilan menekan inflasi, LPE 6,5 %, cadangan devisa negara
dan lain sebagainya yang banyak dirilis pemerintah.
Semua fakta-fakta ini
jadi satu dalam beragam acara TV, talkshow dan lain sebagainya. Dengan beragam
ambisi politik, kepentingan dan sebagainya. Rakyat hanya penonton debat kusir
TV. Rakyat disuguhi tontonan controversial dalam semua hal. Atas nama ratting
untuk mengail iklan. Untuk kepentingan pemegang saham. Maka tontonan yang
diluar mainstreaming kini laku. Meski menabrak nalar dan keyakinan keberagamaan
kita. Seperti kasus mutilasi yang kini marak dipertontonkan potongan mayat di
TV, kekerasan penangkapan Herkules hingga kekerasan antara Jupe dan DP hanya
untuk mendongkrak film-nya agar ditonton orang. Industry media telah menyihir
public. Padahal public kita sangat jauh, gambaran di TV. Tak heran terjadilah
apa yang disebut split personality (keterpecahan personality). Apa yang terjadi
? beragam amuk massa terjadi. Rakyat menjadi mudah marah. Negara lagi-lagi
lunglai menghadapi deretan peristiwa ini.
Rangkaian cerita
diatas juga mempengaruhi Banten. Terlebih jaraknya yang dekat dengan Jakarta.
Dinamika dan tensi masalah yang dihadapi pun seputar itu. Hanya sebagai daerah
yang strategis Banten, memiliki sejumlah harapan. Meski jalannya memang harus
berliku. Keadilan, kesejahteraan dan pemerataan memang harus diperjuangkan
dengan kerja keras dan kesabaran. Yang kita perlukan sekarang adalah ; Menyemai
keteladanan, pendidikan, pembudayaan, kejujuran dan terus menerus menebar
kebaikan. Betatapun kecilnya. Ia akan menjadi
bibit yang tumbuh subur. Banten bukan milik kita sekarang, ia milik
generasi berikutnya. Anak dan cucu kita. Menebar permusuhan seraya melempar isu
bukan solusi. Sekali lagi, memang ini pekerjaan berat.
Penulis buku ini
menunjukkan caranya yang baik dengan menuliskannya dalam bentuk buku. Orang
dapat merekam jejak penulisnya, pikiran-pikirannya hingga menjadi bahan
pengetahuan dan diskusi yang sehat dan konstruktif untuk pembudayaan literasi
di Banten. Tak ada jalan lain untuk mendorong budaya baru Banten. Orang harus
membaca dan menulis. Sehingga tumbuhlah, komunitas masyarakat Banten yang berbudaya
tinggi. Menyongsong era baru.
Selamat kepada Pak.
Ali Faisal.