Oleh : Aris Kurniawan.
Seorang bocah pengasong di Pelabuhan Merak, Banten, mengalami aneka tekanan. Mulai dari ibunya yang gemar judi dan merampas uang hasil jualannya, pemerasan dan kekerasan seks dari preman pelabuhan, sampai tekanan gurunya di sekolah lantaran berbula-bulan nunggak bayar lembar kerja siswa (LKS).
Seorang bocah pengasong di Pelabuhan Merak, Banten, mengalami aneka tekanan. Mulai dari ibunya yang gemar judi dan merampas uang hasil jualannya, pemerasan dan kekerasan seks dari preman pelabuhan, sampai tekanan gurunya di sekolah lantaran berbula-bulan nunggak bayar lembar kerja siswa (LKS).
Seiring dengan aneka tekanan tersebut si bocah kemudian
tumbuh menjadi pribadi yang terpecah (split
perosnality?). Sekali waktu ia menjadi lelaki gagah berani yang mampu
menghajar ibunya dan sang preman menggunakan termos air panas, pada waktu yang
lain ia menjadi bocah lelaki penakut yang menyedihkan dan berkali-kali jadi korban
empuk pemerasan dan kekerasan seks preman pelabuhan. Sementara pada waktu yang
lain lagi ia menjadi gadis cantik berkulit kuning langsat yang menikmati kasih
sayang dan hubungan intim dengan Kang Asep, lelaki gay pemilik toko yang murah
hati memodali para bocah pengasong berjualan di Pelabuhan Merak.
Kisah-kisah tentang kekerasan seksual dan praktik
homoseksualitas di kalangan bocah-bocah pengasong dan anak jalanan umumnya,
orang tua yang kejam, serta kemiskinan yang memantik aneka persoalan yang khas
seperti di atas, tentu saja bisa terjadi di pelabuhan mana pun di negeri ini,
bahkan di seluruh sudut bumi. Hanya saja, mengemasnya menjadi sebuah cerpen
yang segar dalam teknik bertutur, tangkas dalam berbahasa, serta selesaian yang
dipilih, inilah tidak banyak pengarang cerpen kita yang dapat melakukannya.
Cerpen “Tiga Penghuni dalam Kepalaku” garapan Guntur
Alam dalam buku bunga rampai cerita pendek bertajuk “Banten, Suatu Ketika” ini satu
dari yang segelintir itu. Pilihan guntur menggunakan kata ganti orang pertama
tunggal ‘aku’ sebagai penutur sangat tepat dalam memantik efek dramatik serta
pergerakan alur yang dinamis.
“Aku” yang di dalam dirinya hidup tiga karakter yang
berbeda satu sama lain, merasa asing dengan dirinya. Tiga karakter yang
mengendalikan ‘aku’ sehingga ‘aku’ mampu bertindak di luar kontrol ‘aku’ yang tak
lain si bocah lelaki usia sekolah dasar yang harus membiayai sendiri hidup dan
sekolahnya. Apakah terdapat kaitan antara ketertekanan bertubi-tubi dengan keterpecahan
pribadi yang merundung ‘aku’? Ini tentu terbuka untuk diperdebatkan lebih jauh.
Namun, cerpen inilah yang memenangi sayembara menulis
cerpen Banten Muda Award 2012 sebagai juara pertama, menyisihkan tiga ratusan cerpen lainnya. Dan justru
di situlah barangkali persoalannya. Bunga rampai berisi 15 cerpen hasil sayembara
menulis cerpen Banten Muda Award 2012 yang diselenggarakan tabloid Banten Muda ini mengharuskan cerpen
mengusung tema Banten sebagai syarat utama untuk mengikuti sayembara.
Ihwal persyaratan tema Banten ini yang sejak awal
dirundung sejumlah masalah. Sekurangnya ada dua masalah terkait Banten sebagai
tema. Pertama, seperti diakui salah
seorang juri, sebagai sebuah provinsi, Banten tidak memiliki kekhasan yang
tegas dari sisi budaya dengan Jawa Barat yang beretnik Sunda.
Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa tradisi yang
hidup di Banten pada saat yang sama juga berkembang di Jawa Barat dan
sebaliknya, tradisi masyarakat di Jawa Barat, menghidupi pula masyarakat yang
tumbuh di Banten. Tengoklah dari sisi bahasa sebagai elemen utama suatu budaya.
Bahasa sehari-hari yang digunakan sebagian besar masyarakat Banten adalah
bahasa Sunda. Sebagian kecil lainnya menggunakan bahasa Jawa, itu tak lain bahasa
Jawa Serang (Jaseng) yang merupakan varian dari bahasa Jawa Cirebon, wilayah
paling timur Jawa barat. Dengan kata lain, Banten tidak memiliki bahasa
sendiri.
Kedua, sebagai
etnik. Orang Banten tak lain adalah etnik Sunda. Jika ditelusuri sejarahnya,
leluhur orang Badui yang tinggal di pedalaman Lebak, tak lain berasal Pajajaran
yang sekarang merupakan wilayah Bogor. Sejumlah sejawaran meyakini mereka
adalah warga Pajajaran yang mengasingkan diri ke wilayah kulon lantaran menolak
agama baru (Islam). Maka berdasarkan fakta-fakta ini, mengukur “kadar”
kebantenan sebuah cerpen dalam konteks sayembara ini menjadi persoalan yang
rumit.
Sehingga dapat dimaklumi jika juri memilih cerpen
“Tiga Penghuni dalam Kepalaku” sebagai pemenang, kendati cerpen ini menjadikan
Banten semata sebagai setting tempat. Demikian pula cerpen juara kedua “Bebek
Panggang Nyai Pohaci” garapan Ank Ariandi yang mengangkat khazanah dongeng
tentang Nyai Pohaci (dewi padi). Dongeng tentang dewi padi tidak hanya hidup di
kalangan masyarakat kampung di pelosok Banten. “Perempuan Lesung” besutan Richa
Miskiyya yang menyabet juara ketiga, setali tiga uang dengan cerpen Guntur Alam
dan Ank Ariandi. Sebuah kisah tentang kasih tak sampai yang telah menjadi
cerita umum dalam khazanah sastra di mana pun.
Duabelas cerpen lainnya kurang lebih menunjukkan
kecenderungan serupa. Menempatkan Banten semata sebagai setting tempat. Mulai
dari yang bercerita tentang penggunaan ilmu mistik untuk meraih jabatan seperti
tampak pada cerpen “Teluh” karya Skylashtar Maryam, menjadikan keluguan
masyarakat tradisional Badui sebagai nilai ideal dalam “Limbur Singkur” karya
Ikal Hidayat Noor, serta tempat-tempat di Banten lainnya yang ditulis dengan
semangat turistik nan sentimentil. (dimuat di Lampung Post, Minggu 27 Januari 2013).
Data buku
Judul
: Banten Suatu Ketika
Penulis : Guntur Alam dkk.
Penerbit : Banten Muda Community
Cetakan : I, Desember 2012
Tebal : 164 halaman
ISBN : 978-979168486-6
Penulis : Guntur Alam dkk.
Penerbit : Banten Muda Community
Cetakan : I, Desember 2012
Tebal : 164 halaman
ISBN : 978-979168486-6
Sumber: http://belagaresensi.blogspot.com/2013/01/mencari-banten-di-dalam-cerpen_29.html