![]() |
Oleh : Irvan Hq |
Suatu hari saya tertarik
membaca tautan berita di status FBnya Muhammad Arif Kirdiat mengenai perusahaan
kosmetik ‘Lush’ yang akan memasang bendera Bintang Kejora di setiap jendela
tokonya di Australia dan Selandia Baru, membagi-bagikan pamflet kepada
pengunjung dan menjual sebuah parfum edisi terbatas, yang dananya akan
disumbangkan untuk gerakan kemerdekaan Papua. Pemerintah Indonesia terkejut dan
mempertanyakan motif di balik dukungan mereka terhadap gerakan kemerdekaan
Papua. Bahkan seorang pejabat KBRI di Canberra menyatakan apakah perusahaan
tersebut mengetahui tentang situasi sebenarnya di lapangan Papua.
Saya jadi senyum sendiri melihat
reaksi pejabat kita yang kebakaran jenggot, padahal menurut saya ada baiknya
kita juga melakukan intropeksi diri ke dalam untuk mengetahui ada masalah apa
sesungguhnya sehingga masih saja terjadi gerakan kemerdekaan di Papua.
Jangan-jangan malah pejabat kitanya yang tidak mengetahui situasi sesungguhnya
di sana. Mungkin karena letaknya yang jauh dijangkau sehingga para pejabat kita
malas kesana atau karena merasa sudah jadi pejabat, setiap kali berkunjung ke
Papua mereka maunya dijamu dan diberi laporan yang baik-baik saja. Saya jadi
ingat film Di Timur Matahari karya Ari Sihasale pada bulan Juni lalu yang
menggambakan minimnya fasilitas pendidikan di pulau paling timur Indonesia itu,
ada sebuah dialog ketika istrinya Michael (putra daerah asli Papua yang bekerja
di Jakarta) bernama Vina yang berkunjung ke Papua terkejut mengetahui harga
sembako yang sangat mahal, sampai ia bergumam sendiri, pantas saja Papua minta
merdeka.
Lebih miris lagi setelah 67 tahun
merdeka, masih ada sekitar 183 daerah tertinggal di Indonesia, tujuh puluh
persennya ada di kawasan timur Negara kita tercinta ini. Belum lama potret itu
tergambar kembali dalam sebuah film karya Herwin Novianto yang diproduseri
Deddy Mizwar bersama Gatot Brajamusti berjudul ‘Tanah Surga Katanya’yang
menceritakan kehidupan sebuah desa terpencil di Kalimantan Barat yang
berbatasan dengan Malaysia. Meski bersebelahan, pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi desa milik Indonesia jauh tertinggal dari desa tetangganya, jalan
beraspal milik Malaysia berujung tepat di perbatasan Indonesia yang jalannya
masih murni dari tanah.
Sedemikian parahnya ketertinggalan
dan keterbelakangan Desa ini membuat anak-anak kecil di sana sekolah dalam satu
ruangan berdinding kayu, sebelahnya kelas tiga, sebelahnya lagi kelas empat, tidak
ada kelas yang lain, guru yang mengajarnya juga cuma satu, itupun setelah satu
tahun vakum. Mata uang yang mereka kenal dan mereka pergunakan sehari-hari
bukan rupiah tetapi ringgit. Dan saya langsung tercekat menyaksikan anak-anak
itu malah menyanyikan lagunya Koes Plus berjudul Kolam Susu ketika seorang
dokter yang baru saja datang ke desa ini meminta anak-anak itu menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia.
Salman adalah anak kelas 4 SD yang
sering melintasi daerah perbatasan untuk berjualan demi mengumpulkan uang untuk
mengobati kakeknya yang sakit. Untuk mencapai Rumah Sakit saja Salman harus
membayar sewa perahu sebesar 400 ringgit. Kakek Salman adalah mantan pejuang
kemerdekaan yang pernah terlibat dalam konfrontasi dengan Malaysia pada tahun
1960-an, bagaimana ia menghadapi pasukan sewaan bernama gurkha dan berjuang
mati-matian demi kehormatan bangsa Indonesia, ia masih saja menggenggam
nilai-nilai nasionalisme itu sehingga menolak ajakan anaknya untuk pindah ke
Malaysia, disana ayahnya Salman sudah menikah lagi dengan perempuan Malaysia dan
memiliki Kedai sebagai sumber penghidupan yang jauh lebih baik. Sedangkan Salman
memilih tinggal dan membiarkan ayah dan adiknya pergi karena tidak tega
meninggalkan Kakeknya tinggal sendirian.
Selain soal Kakeknya, ada tiga
adegan yang membuat saya terkesan pada sosok Salman ini, yang pertama bagaimana
ia memprotes seorang pedagang Malaysia yang menggunakan bendera Indonesia
sebagai alas dagangannya, kemudian ia berusaha mengumpulkan uang untuk membeli
dua buah sarung, yang satu untuk mengganti sarung Kakeknya yang sudah sobek dan
yang kedua sarung baru itu ia tawarkan kepada pedagang Malaysia itu untuk
menukarnya dengan bendera merah putih yang digunakan sebagai alas dagangannya.
Yang kedua bagaimana seorang Salman membuat wajah sang pejabat yang sedang
berkunjung ke desanya menjadi tersinggung dan membatalkan semua rencana bantuan
yang sudah dicatat asistennya ketika membaca puisi karyanya sendiri.
“Bukan lautan hanya kolam susu…,
katanya. Tapi kata Kakekku hanya orang kaya yang minum susu. // Tiada badai
tiada topan yang kau temui, Kain dan jala cukup menghidupimu, Tapi kata kakekku
ikannya diambil negara asing. // Ikan dan udang menghampirimu…, katanya. Tapi
kata kakekku sshh… ada udang dibalik batu. // Orang bilang tanah kita tanah
surga…, katanya. Tapi kata dokter intel yang punya surga hanyalah
pejabat-pejabat… “
Dan yang ketiga adalah adegan
dramatis dimana Salman sedang berjuang membawa kakeknya yang kritis menembus
perjalanan yang sulit dengan perahu menuju rumah sakit, sementara Ayah Salman sedang
asyik nonton bareng mendukung kesebelasan Malaysia melawan kesebelasan
Indonesia. Akhirnya ditengah perjalanan sang Kakek meninggal tepat disaat
puluhan warga Malaysia yang memenuhi kedai milik Ayah Salman bersorak-sorai
merayakan keberhasilan timnya menekuk kesebelasan Indonesia. Ironis memang,
entahlah… yang jelas ada yang salah dengan bangsa ini, alih-alih melestarikan
kebudayaan bangsa Indonesia, malah budaya keterbelakangannya yang dilestarikan.
Memang untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia yang sangat luas ini tidak
semudah membalikkan telapak tangan, tapi sampai kapan itu terjadi? Sampai
daerah-daerah tersebut menuntut kemerdekaan?
Akhirul kata, untuk para Pemimpin
Negeri ini dan untuk para Pejabat Pemerintahan
baik di pusat maupun yang di daerah-daerah. Kalau mau kunjungan jangan
maunya dijamu saja, disambut, dipuja-puja, dan kalau menerima laporan jangan
katanya-katanya saja. Kata anggota dewan siapa bilang Jakarta itu panas? Pantas
saja dia bicara begitu, karena mulai dari rumah tinggal ber-AC, masuk mobil
ber-AC, masuk kantor di gedung ber-AC, dan meeting di hotel-hotel mewah pun
ber-AC, tentu saja buat mereka Jakarta
sejuk dan nyaman. Persoalannya bagaimana dengan masyarakat diluar sana yang
hidup tanpa AC bahkan dibawah terik matahari.
Kata Gurbernur Banten siapa bilang
beliau tidak
pernah membantu pembangunan masjid, pesantren dan masyarakat miskin? Pantas
saja beliau
bicara begitu, karena hampir setiap hari beliau menanda tangani persetujuan
proposal pembangunan masjid, pesantren dan bantuan sosial untuk masyarakat miskin
di Banten. Persoalannya apa semua bantuan itu sampai kepada yang berhak? Siapa
bilang jalan-jalan di Banten rusak dan listriknya sering padam? Pantas saja beliau bicara begitu,
karena jalan yang dilaluinya selalu jalan yang bagus, yang lancar dan kalau
kunjungan ke daerah, semua jalan yang akan dilalui mendadak diperbaiki dan
kanan kirinya dirapihkan. Apalagi rumah dinasnya, mungkin tidak pernah mati
listrik. Jadi Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu
para pejabat negeri ini kalau menerima laporan jangan kata-katanya saja…
dicheck dulu kebenarannya dan dikuasai permasalahannya sampai detail… baru
ambil keputusan, itulah pemimpin yang baik… katanya. [.]
- Pernah dimuat di Harian Umum Kabar Banten, 28
Agustus 2012