![]() |
Oleh : Sigit Surahman
|
Dunia seni merupakan dunia yang sangat tidak terbatas dalam bentuk ekspresi
manusia menuangkan semua ide dan konsep pemikirannya. Jika dilihat dari sudut cara berkesenian, maka
bisa dibagi menjadi dua macam: seni rupa dan seni suara. Yang pertama dimaknai
sebagai kesenian yang bisa dinikmati dengan mata, sedangkan yang kedua kesenian
yang bisa dinikmati dengan pendengaran (telinga). Ranah seni rupa pada praktiknya
meliputi seni patung, seni relief (termasuk seni ukir), seni lukis, dan seni
rias. Seni suara meliputi seni musik vokal, instrumental, dan seni sastra.
Lebih khususnya terdiri dari prosa dan puisi. Disamping itu ada pula seni yang
meliputi keduanya yaitu seni gerak atau seni tari, karena kesenian ini dapat
dinikmati dengan mata dan telinga. Kemudian pada perkembangannya akhirnya
muncul suatu bentuk kesenian yang meliputi keseluruhannya, yaitu seni drama,
karena kesenian ini mengandung unsur-unsur seni lukis, rias, musik, sastra, dan
seni tari, yang semua diintegrasikan menjadi satu kebulatan. Seni drama bisa
bersifat tradisional seperti Wayang Wong (wayang orang) atau bisa bersifat
modern dengan teknologi seperti film.
Berbicara tentang dunia film, tentunya kita pasti pernah
mendengar apa itu film indie/pinggiran. Kenapa demikian? Karena sampai saat ini
film indie/film pinggiran nyaris luput dari perhatian para produser-produser
besar yang mau mendanai produksi film indie/pinggiran, jadi memang terkesan
sangat terpinggirkan. Dengan demikian film indie boleh dikata film pinggiran.
Durasi dari film indie/pinggiran sudah pasti tidak akan sama dengan dunia film
panjang, film komersial, film televisi, atau film-film yang terpampang di
baliho-baliho besar yang tayang di bioskop atau cineplex-cineplex. Film indie merupakan film yang durasinya bebas,
akan tetapi dengan kebebasan durasi yang dimiliki itu, para sineasnya dituntut
harus bisa lebih kreatif dan selektif dalam mengangkat tema dan materi yang
akan ditampilkan. Dengan munculnya kreatifitas dan selektifitas dari sineas
maka, setiap angle, shot, dan
elemen-elemen pendukung tampilan film pinggiran itu sendiri akan memiliki makna
yang cukup luas untuk bisa ditafsirkan oleh penontonnnya.
Dalam film pinggiran mungkin tidak akan mengenal apa
itu super star, tidak pernah memperdulikan kaidah-kaidah baku pada saat
produksi film yang terkesan sangat rumit. Para sineas film pinggiran dari
berbagai kota di Indonesia telah banyak menunjukkan aktifitas berkaryanya. Bagi
mereka semua tidak ada sebuah keharusan untuk terlebih dahulu mendalami
teknik-teknik sinematografi, tata artistik, tata cahaya, make-up, atau hal-hal lain sebelum memproduksi sebuah karya film.
Hal itu mencerminkan semangat independen dari para sineas-sineas film indie/pinggiran
yang tidak perlu berpatokan pada teori-teori yang memang sudah selazimnya.
Selain dari aspek bagaimana proses produksi, cerita,
dan misi yang akan disampaikan, film indie/pinggiran biasanya tidak ditentukan
dengan durasi seperti halnya kebanyakan film komersial yang banyak beredar di
saat ini. Bahkan dalam beberapa event festival film indie sering film-film yang
dikirimkan hanya berdurasi tayang sekitar antara 10-30 menit saja.
Kejadian-kejadian ini akan sangat mungkin terus terjadi, karena film independen
yang memang tidak melibatkan produser/pemodal besar. Bagi sineas film indie/
pinggiran, jika mereka memang hanya mempunyai dana untuk membeli kaset mini DV,
makan, dan minum selama proses produksi berlangsung, bahkan hingga proses pasca
produksi saja, itu sudah merupakan anugerah buat mereka. Hanya menggunakan
pemain dengan bayaran “Thank You”
artinya hanya dengan bayaran ucapan terima kasih, fenomena itu yang hanya
terjadi dalam film indie/pinggiran dan bukan dalam film-film komersial. Disitulah
letak dari keistimewaan film indie/pinggiran. Alat yang digunakan juga tidak
harus menggunakan kamera yang profesional atau kamera VHS, betacam, atau kamera
digital. Tidak jarang yang memproduksi film indie hanya dengan kamera handycam kecil saja.
Dewasa ini, film muncul selain sebagai alternatif
hiburan, film juga sebagai produk dari alkulturasi budaya dan perkembangan
budaya tradisi dan budaya modern. Kebudayaan sebagai bukti peradaban manusia
mengalami perkembangan dan perubahan. Penetrasi kebudayaan antar daerah, antar negara,
atau antar benua sekali pun bisa terjadi melalui berbagai macam cara, baik
damai maupun kekerasan, determinasi ideologi, politik, maupun ekonomi menjadi
suatu media perubahan kultural tersebut yang semua bisa dimunculkan melalui
cerita film. Dengan cara damai, kebudayaan masuk dan mempengaruhi kebudayaan
lain melalui media cetak maupun elektronik. Kalau kita coba melacak
perkembangan budaya massa saat ini, kita akan dihadapkan pada sekian banyak
istilah yang saling berkaitan: budaya tradisi, budaya pop, budaya modern,
budaya konsumen, budaya komersil, industri budaya, budaya post modern, dan
seterusnya. Objeknya bisa berupa karya sastra, teater, lukis, lagu/musik, film,
dan lainnya.
Film adalah salah satu media audio visual yang saat
ini bisa dibilang paling ampuh untuk digunakan dalam penetrasi budaya. Film
pada dasarnya merupakan suatu produk yang dihasilkan oleh seorang sineas
melalui proses yang melibatkan kemampuan imajinasi, pengembangan daya cipta
berkreasi, kepekaan rasa dan karsa yang dimiliki oleh sineasnya. Semua film
yang banyak beredar tentunya merupakan karya yang mengandung pesan-pesan untuk disampaikan
kepada khalayak umum. Pesan-pesan atau nilai-nilai yang ada pada film inilah
yang mampu akan mensosialisasi, mencipta, merepresentasi, dan merefleksi suatu
nilai budaya di negeri ini. Pada dasarnya suatu pesan yang ada dalam film
bertujuan untuk pembinaan maupun pengembangan nilai sosial-kultural,
mencerdaskan suatu bangsa, maupun peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Secara historis bisa kita lihat ada beberapa karya
film indie/film pinggiran yang kiprahnya mampu menembus hingga tingkat
internasional. Beberapa diantaranya: Film Revolusi Hijau Revolusi Harapan karya
sineas Nanang Istiabudhi berhasil mendapatkan Gold Medal untuk kategori
Amateur dalam The 39th Brno Sexteen
International Competition of Non-Comercial Featur and Video di Republik
Cekoslovakia (1998). Film Novi karya sineas Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis
(1998). Dalam Singapore Internasional Film
Festival (1999), sekitar lima film pendek Indonesia ikut serta bersaing,
yaitu Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi, Bawa Aku Pulang buah karya
Lono Abdul Hamid, film Novi karya Asep Kusdinar, Sebuah Lagu karya Eric
Gunawan, dan Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar.

Saat ini berbagai komunitas film indie/film pinggiran
semakin banyak bermunculan di Indonesia. Kemunculan komunitas-komunitas film
indie/film pinggiran ini memiliki peran yang cukup besar dalam hal pelestarian
budaya maupun perluasan jaringan film indie/film pinggiran itu sendiri. Maka
untuk itu diperlukan adanya upaya dari berbagai pihak untuk senantiasa
mendorong kemajuan perkembangan film indie/film pinggiran di daerah-daerah
bukan hanya di kota besar saja, salah satunya bisa melalui pembinaan dan
memberikan ruang terbuka pada komunitas-komunitas yang sudah ada dan ingin
mulai menapakkan jejak kakinya di dunia film indie/film pinggiran.[ ]
Penulis adalah dosen di Universitas Serang Raya