Masalah bangsa yang sangat klasik dan
meresahkan saat ini, diantara masalah multidemnsional kebangsaan Indonesia,
mulai dari hal yang remeh temeh, hingga masalah pelik, mulai dari perasaan ibu-ibu yang beberapa hari ini
cemas memikirkan biaya masuk SD bagi anak-anaknya, diantara sebagian ibu-ibu
pejabat yang menimbang-nimbang hendak disekolahkan di sekolah terbaik yang
manakah anaknya, meski mahal tak jadi soal demi sebuah prestise diri, pertaruhan nama baik bapak dan ibunya yang
konon terhormat, hingga persoalan wabah korupsi yang setiap saat menemukan jati
dirinya di Republik yang “Junub” ini, mengapa junub?..karena republik ini
selalu membawa kotoran/hadas dalam perilaku sebagian anak kandungnya, maka kelak boleh jadi kita harus
melakukan gerakan thoharoh/bebersih dari segala hadas besar dan kecil dalam
konotatif maknanya demi tercapainya
keimanan sosial.
 |
Oleh : Ali Faisal
Pemilik Depot Isi Ulang Air Minum Merk
Qualife
|
Sering
sekali kita mendengar kata “pengangguran intelektual”, intelektual kok
nganggur?..ya, Mereka bukannya memberi sumbangsih kepada pembangunan bangsa,
tetapi justru menjadi beban pembangunan, hal ini paling tidak terlihat dari
data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2011, 8,12 juta (6,8 persen)
angkatan kerja kita adalah pengangguran terbuka yang sama sekali tidak memiliki
pekerjaan, dan sekitar 600 ribu (7,6 persen) orang diantaranya adalah mereka
yang telah lulus universitas alias sarjana, jumlah ini
dipastikan akan lebih banyak lagi jika defenisi pengangguran diperluas hingga
mencakup mereka yang setengah menganggur, jumlah jam kerja kurang dari jam
kerja n ormal dan mereka yang
bekerja pada lapangan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan
yang dimiliki atau lebih rendah dari kualifikasi kemampuan yang dimiliki
(disguised unemployment).
Kondisi ini tentu sebuah ironi yang seharusnya tidak terjadi, karena
tingkat pendidikan yang lebih tinggi (sarjana) seharusnya bisa memberikan akses
yang lebih baik pula untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi memang faktanya adalah
tidak imbangnya lapangan kerja dibandingkan dengan jumlah pencari kerja, Tentu
ada banyak faktor yang menjadi penyebab kenapa jumlah sarjana yang menganggur
masih cukup tinggi, Kualitas lulusan dari segi keilmuan mungkin salah satunya
selain kesenjangan antara kualifikasi yang mereka miliki dengan kebutuhan pasar
tenaga kerja.
BPS
mencatat, pada Februari 2011, pangsa sektor pertanian terhadap penyerapan
angkatan kerja mencapai 33 persen (42,47 juta orang). Padahal kita tahu,
kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sektor pertanian tidak perlu
sarjana, dan kenyataannya, sarjana kita juga memang enggan bekerja di sektor
ini, tingkat penyerapan angkatan kerja di sektor-sektor
yang menjadi pasar buat angkatan kerja dengan pendidikan sarjana, seperti
sektor jasa kemasyarakatan, keuangan, dan komunikasi masih relatif kecil, pihak
perguruan tinggi juga harus diluruskan cara pandangnya dalam melihat hal
demikian, bahwa indikator keberhasilan perguruan tinggi hendaknya tidak hanya
diukur dengan sejauh mana menghasilkan sarjana tetapi lebih pada sejauhmana
lulusannya terserap pada dunia kerja yang sesuai dengan keahliannya, dan
sebagian besar dari lulusan tersebut telah memulai, menjalankan dan berhasil
dalam bidang enteurprenership, maka jika telah demikian perguruan tinggi bukan
semata-mata pencetak sarjana tetapi pencetak wirausaha yang mempunyai nilai
mutiplayer effect bagi kemanfaatan banyak pihak, perguruan tinggi jangan
berpikir sarjana an-sich, tetapi seharusnya mencari tahu struktur kebutuhan
pasar tenaga kerja dan peluang pengembangan wirausaha sebagai acuan bagi
pengembangan kurikulum di perguruan tinggi dengan prinsip vokasional, dengan
demikian, sarjana-sarjana yang dihasilkan bisa terserap oleh pasar tenaga kerja
yang ada juga menciptakan pasar bagi berbagai peluang usaha yang ada di
masyarakat, selain itu, hubungan antara perguruan tinggi dengan dunia industri
juga harus diperkuat, perguruan tinggi harus membuat yang namanya career
development.
Bagaimana di Banten?
Dari data BPS
Provinsi Banten, jumlah angka pengangguran di Provinsi Banten periode Februari
2012 menempati urutan tertinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia, yaitu
mencapai 10,74 persen dari jumlah penduduk di Banten, pengangguran di Banten
ini didominasi oleh warga pribumi, bukan warga pendatang, Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN) tentang tenaga kerja, pada Februari 2012,
tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Banten di atas DKI Jakarta, yaitu
mencapai 10,74 persen, sedangkan untuk TPT DKI Jakarta hanya mencapai 10,72
persen dari jumlah penduduk DKI Jakarta, Angka TPT dua daerah tersebut juga
sangat jauh berbeda dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang memiliki
angka TPT hanya 2,78 persen, Bali hanya 2,11 persen dan yang menempati urutan
angka pengangguran terkecil yaitu Sulawesi Barat dengan pengangguran hanya 2,07
persen.
Sedangkan jumlah angkatan kerja di Banten pada Februari
2012 mengalami penambahan sebanyak 233.963 orang, pada Februari 2011 lalu,
angkatan kerja di Banten mencapai 5.164.681 orang, namun pada Februari 2012
menjadi 5.398.644 orang, yang menempati semua
sektor yang mengalami kenaikan jumlah pekerja, namun lapangan usaha yang paling
banyak menyerap tenaga kerja terdapat di sektor perdagangan, yang menyerap
1.195.674 orang atau hampir dari seperempat penduduk yang bekerja (24,81
persen), data 2010 memperlihatkan bahwa pengangguran didominasi lulusan
diploma/sarjana sebanyak 25,33 persen, lulusan pendidikan menengah atas 15,30
persen, lulusan pendidikan menengah pertama 13,71 persen, dan lulusan SD ke
bawah 11,39 persen. Dengan kata lain, jumlah orang yang bekerja didominasi
pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah 1.741.745 orang atau 45,65 persen,
sedangkan jumlah pekerja dengan pendidikan tinggi masih relatif kecil yaitu
282.970 orang atau 7,42 persen.

Jika melihat
fakta yang demikian, sungguh sangat menghawatirkan rasanya, bilamana kita yang
hari ini duduk di bangku kelas 3 SMA, mahasiswa tingkat ahir perguruan tinggi,
para sarjana yang baru lulus, terlebih sarjana yang telah bertahun-tahun masih
menganggur, apalagi yang hanya lulusan SD, SMP, SMA sederajat apalagi pula yang
tidak luslus SD, gesekan semakin rapat dan daftar antrian pencari kerja yang luar biasa panjang, sementara peluang
kerja terbatas, andaikan kita mau jujur tentu saja ada yang salah dari persepsi
kita baik persepsi diri dan persepsi masyarakat terhadap jenis pekerjaan yang
di idealkan saat ini, semua kita berlomba mencari pekerjaan yang mayoritas
pekerjaan formal, dan cenderung tidak ada motivasi untuk memulai mengeksploitasi
cara-cara menggapai kesejahteraan di luar itu, contoh sederhana yang belakangan
mewarnai media lokal di Banten misalnya, betapa was-wasnya para sarjana dan
para calon sarjana dikarenakan pemerintah memberlakukan moratorium penerimaan
CPNS yang belum dapat diketahui kapan akan di buka kembali, intinya mereka
masih menganggap PNS yang terbaik, padahal tahukan anda berapa gaji PNS?
Berdasarkan PP No. 15 tahun 2012 disebutkan,
gaji pokok terendah untuk PNS Golongan III a dengan masa kerja nol tahun adalah
Rp2.046.100 (sebelumnya Rp1.902.300) dan tertinggi IIId dengan masa kerja 32
tahun adalah Rp3.742.300 (sebelumnya Rp3.332.000), Sedang untuk golongan IVa
masa kerja nol tahun adalah Rp2.436.100 (sebelumnya Rp2,245 juta), sedang
tertinggi untuk golongan IVe masa kerja 32 tahun adalah Rp4.608.700 (sebelumnya
Rp4,1 juta) ditambah dengan penghasilan-penghasilan lain yang sah, persepsi
masyarakat tentang enaknya kerja pada institusi birokrasi terbangun karena aksi para PNS yang mempertunjukkan gaya hidup
pop, dan borjuis disamping waktu kerja yang longgar, tetapi marilah kita
berpikir keluar dari kotak masyarakat kebanyakan, marilah kita berpikir tentang
potensi dan masa depan kesejahteraan diluar profesi PNS dan bekerja pada sektor
formal dengan prasyarat yang mudah, yakni memulai berwirausaha, pernahkah anda
membaca memakan keripik olahan bermerk ma icih? Ya, Reza Nurhilman nama
pemiliknya, dengan keterbatasan dana ia membangun usaha, pemuda 23 tahun ini
meraih sukses tak terkira berkat dunia maya dengan memanfaatkan situs jejaring sosial seperti
Facebook dan Twitter sebagai media pemasaran, dan hanya setahun setelah meluncurkan usahanya di
Twitter, Berangkat dengan modal sekitar Rp15 juta, ia membuat permainan yang
memancing penasaran Facebookers dan Tweeps. Ia merancang lokasi penjualan
berpindah-pindah setiap hari, yang hanya dapat diketahui dengan melihat status
Facebook (#maicih) atau Tweet Maicih (@infomaicih) yang saat ini ia mampu
mengantongi omzet penjualan Rp4 miliar per bulan.
Pernahkah anda
mengunjungi kedai nasi kucing atau biasa di sebut angkringan, awalnya saya
sendiri tidak pernah tau apa itu angkringan apalagi mendengar sebutan nasi
kucing, agak geli mendengarnya saya pikir nasi yang berlauk kucing, atau makan
ditemenin dengan kucing, sehingga
diperkenalkan oleh seorang sahabat bernama Anton bersama Reza dan Yagi yang lulusan
universitas di Jogja, ternyata sekali mencoba saya langsung jatuh cinta, dengan
menu nasi kecil plus teri sambel atau plus pindang tongkol sambel yang
bungkusnya sama hanya dibedakan oleh sobekan kertas sebagai pembeda, ceker ayam
dan kepala ayam yang ditusuk, tempe mendoan, sedangkan minumnya susu jahe atau
kita boleh memesan hanya wedang jahenya saja, pasca ajakan ketiga sahabat saya
itu, saya sering sekali, jika tidak bisa dikatakan setiap malam untuk
mengunjungi angkringan, seakan saya jadikan ritual kuliner karena bagi saya
ahirnya angkringan sebagai madrasah, mengapa? karena ia mengajarkan
kesederhanaan, egaliter, mawas diri dan mengajarkan kesadaran darimana kita
berasal. Bagi saya angkringan menjadi medium yang tepat untuk berbincang bersama
Mahdiduri, Irvan HQ, Jaenal Aripin, Panji Aziz Pratama, Esih Yuliasih dan yang
lainnya tanpa batas dari sekadar obrolan ngawur hingga membahas struktur
kekuasaan negara dan anomali politik dan demokrasi seolah-olah yang terjadi
baik di Banten maupun di Indonesia. Tetapi dalam tulisan ini saya tidak dalam
rangka menjadi orator narasi yang berkhutbah memberikan testimoni tentang
suasana angkringan, yang ingin saya tanyakan berapakah keuntungan rata-rata
kedai angkringan setiap malamnya?..ini ilmiah, berdasarkan penelitian seorang
ahli strategi bisnis (journal.amikom) yang melakukan studi pada pedagang
angkringan tenyata mereka memiliki keuntungan rata-rata per malam berjumlah
Rp.500.000,- total jika di kalikan 25 hari dengan asumsi pedagang masih
memiliki kesempatan libur lima hari selama sebulan ia mengantongi keuntungan
Rp.12.500.000,-, bandingkan dengan gaji PNS tertinggi untuk golongan IVe masa
kerja 32 tahun yang hanya di gaji
Rp.4.608.700,-, jika telah demikian, apalagi yang mau ditunggu, atau
masih tetap menunggu menjadi moratorium PNS di buka lalu la haulawala mencoba
lagi dan mencoba lagi.

Persepsi jika
telah di percaya di resapi dan membatin dalam logika pikir manusia memang tidak
mudah untuk dengan serta merta di abaikan dan tercerabut dari kepala setiap
kita, tetapi marilah sedikit demi sedikit virus dan semangat entrepreneurship
ini kita tularkan, percayalah bahwa bangsa yang akan maju, besar dan sejahtera
itu adalah entrepreneurship Nation, ia
adalah bangsa kreatif, berdasarkan data di Indonesia hanya 0,18 persen jumlah
wirausahanya dari jumlah penduduk Indonesia, sekitar 400.000-an pengusaha,
sementara itu, di negara-negara lain, seperti Singapura jumlah entrepreneur
mencapai tujuh persen bahkan di Amerika Serikat mencapai 13 persen maka menurut
Ir. Ciputra sang Pendiri Universitas Ciputra Entrepreneurship agar terbebas dari
pengangguran dan kemiskinan, Indonesia harus menjadikan abad ke-21 sebagai abad
entrepreneur.
Sebagai salah satu generasi di Banten saya dan tentu
juga saudara ingin sekali berbuat yang terbaik bagi daerah ini, akan tetapi
niat saja tidak cukup, kita harus merevolusi persepsi bahwa berwirausaha adalah
pilihan, ditengah hiruk pikuk dan gegap gempita transisi kebudayaan dan
kemajuan yang terus merambah di daerah ini, kita harus melibatkan diri untuk
mengambil bagian demi kesejahteraan diri, orang lain dan lingkungan
syukur-syukur berhasil dalam andil pelibatan kesejahteraan bangsa dan negara.
Semoga. ***